Produksi Indonesia, Lokomotif CC203 Atau GE U20C Pernah Digunakan di Filipina dan Australia

Setelah mengenal sosok lokomotif CC203 atau GE U20C yang sudah malang melintang di jalur kereta Pulau Jawa maupun Sumatera, lantas bagaimana kiprah lokomotif ini di negara lain? Di Indonesia CC203 memiliki bentuk yang khas di bagian shorthood atau kabin yang berbentuk trapesium dan aerodinamis. Baca juga: Jadi ‘Paket’ Pada Peluncuran KA Argo, Ini Dia Lokomotif CC203 Penarik Kereta Eksekutif Sedangkan di negara lain bentuknya biasa saja yakni kotak seperti GE U18C. Tetapi jangan heran saat melihat GE U20C berhidung miring juga ada di Australia. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan bagaimana lokomotif tersebut bisa tiba disana. Dirangkum KabarPenumpang.com dari berbagai laman sumber, ternyata lokomotif tipe ini  tiba di Australia setelah perjalanan dan cerita yang cukup panjang. Lokomotif ini merupakan khas bentuk Indonesia dan generasi pertama, kemudian GE U20C ini sengaja di ekspor ke Filipina karena dipesan oleh perusahaan terminal peti kemas International Container Terminal Servic Inc. (ICTSI) di Manila, Filipina. Bahkan saat itu, pelepasan lokomotif ini dilakukan oleh Presiden Soeharto di Stasiun Gambir pada 17 Desember 1996 bersamaan dengan dua lokomotif seri sama lainnya. Lokomotif yang beroperasi pada Maret 1997 di Filipina ini diberi nomor 1 dengan livery jingga dengan garis abu-bau dan bertuliskan ICTSI yang merupakan operator dan pemilik dari lokomotif ini.
Lokomotif CC203
Sayangnya lokomotif GE U20C hanya bertahan selama enam tahun di Filipina. Sebab tahun 2003 ICTSI memutuskan untuk menutup jalur kereta api di pelabuhan karena merugi. Tak hanya itu, infrastruktur yang buruk membuat perjalanan kereta api sangat lambat dan semua aset perkeretaapian seperti gerbong dan lokomotif di jual keluar negeri. Kemudian lokomotif GE U20C tersebut dibeli oleh perusahaan kereta api swasta Australia South Spur Railway Service atau SSRS pada Desember 2007.  Sejak saat itu, llivery pada lokomotif berganti menjadi warna biru telur asin dengan tambahan warna kuning tanpa logo perusahaan. Selain penggantian livery, SSRS juga menambahkan handrail pada dek lokomotif, melepas semboyan, dan melepas lampu-lampu semboyan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi standar lokomotif di Australia. Sayangnya selama ber-livery biru dan dimiliki SSRS, lokomotif ini justru tidak pernah dioperasikan. Hingga akhirnya pada Mei 2008, livery lokomotif ini diganti menjadi livery hijau kuning seperti pada saat ini. Selama ber-livery hijau, lokomotif sudah tiga kali berganti kepemilikan. Pertama dia dibeli oleh Coote Industrial dari SSRS. Kedua dibeli oleh Greentrains/Engenco dari Coote Industrial. Sampai akhirnya pada 2012 lalu, kepemilikan lokomotif jatuh ke tangan QUBE Logistic. Pada saat itu lampu kabut diganti berkedap-kedip seperti sirene polisi dan dek diberi reflektor cahaya yang merupakan standar keamanan American Association of Railways (AAR). Meskipun sudah berganti kepemilikan sebanyak empat kali. Sejak awal dibeli oleh South Spur sampai dimiliki oleh QUBE Logistic, dia masih tetap bernomor seri U201. Saat itu oleh Coote Industrial, Greentrains, hingga QUBE Logistic, U201 digunakan untuk membawa kereta angkutan barang. Baca juga: Pernah Beroperasi Lima Dekade di Indonesia, Lokomotif D301 59 Jadi Monumen di Stasiun Semarang Tawang U201 terlihat masih beroperasi mengangkut barang hingga tahun 2014. Selepas 2014, status lokomotif ini diturunkan dari beroperasi menjadi barang simpanan. Terkadang lokomotif ini juga terlihat berdinas langsiran kereta barang. Perlu diketahui, lokomotif diesel elektrik ini adalah PT GE Lokomotif Indonesia, perusahaan patungan antara PT Industri Kereta Api Indonesia (PT INKA) dan GE Transportation.

Konflik Industri Dirgantara AS vs Eropa, Cina Coba Curi Ceruk Pasar Lagi?

Siapa bilang perang dagang hanya terjadi antara Amerika Serikat dan Cina saja? Dua raksasa manufaktur kedigrantaraan global, Boeing dan Airbus pun terlibat dalam perang dagang – hanya saja beda medan dengan Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu. Namun di tengah-tengah perang dagang yang terjadi antara dua perusahaan ini, ada pihak ketiga yang dikabarkan mendapatkan keuntungan, yaitu Cina. Baca Juga: Borong 300 Pesawat dari Airbus, Inikah Strategi Cina Menangkan Perang Dagang dengan AS? Asal muasal pertikaian antara Boeing dan Airbus ini tidak lepas dari peran Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengenakan tarif impor pada produk-produk Uni Eropa senilai US$11 miliar (Rp155,7 triliun). Terhitung sejak saat itu, hubungan kedua perusahaan ini jadi kian memanas. KabarPenumpang.com mewartakan dari laman Reuters, salah satu ‘komoditas’ Uni Eropa yang menjadi target untuk masuk ke pasar Amerika Serikat adala pesawat komersial. Dikabarkan, Amerika Serikat dan Eropa dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir terlibat dalam sebuah perseteruan karena saling tuduh dalam hal memberikan subsidi kepada Airbus dan Boeing. Subsidi yang diberikan dianggap sebagai bala bantuan bagi kedua perusahaan agar mendapatkan keuntungan dalam bisnis pesawat dunia. Menanggapi perseteruan ini, Menteri Keuangan Perancis, Bruno Le Marie mengatakan, “bentrokan antara Boeing dan Airbus akan absurd hanya karena dua industri kami benar-benar saling terkait, kami bergantung satu sama lain untuk sejumlah komponen,” Pada kesempatan yang sama, Menteri Bruno juga menyebutkan bahwa perseteruan ini hanya akan menguntungkan produsen kedigrantaraan Cina, Commercial Aircraft Corp of China Ltd. (COMAC). “Perang komersial antara Boeing dan Airbus hanya akan menguntungkan COMAC,” ujarnya. Entah apa yang terlintas di dalam benak Menteri Bruno, namun sebagaimana yang diketahui bersama, COMAC merupakan salah satu upaya Cina dalam ikut terjun langsung dalam persaingan di sektor aviasi global – setelah sebelumnya, Cina telah menerbitkan ijin kepada pihak Boeing dan Airbus untuk membangun fasilitas penunjang produksi di dataran Cina. Baca Juga: Airbus Duga Cina Jadi Dalang di Balik Insiden Serangan Cyber Tidak bisa dipungkiri, misi spionase Cina dalam upayanya untuk mencuri ceruk pasar di berbagai sektor potensial bisa terbilang monoton. Sebagai contoh sederhana, di sektor telekomunikasi, Cina berhasil menumbangkan beberapa rivalnya hanya demi mengembangkan produk lokal mereka. Pun dengan bidang kemiliteran yang juga menggunakan skema yang serupa. Mungkin Anda masih ingat dengan insiden peretasan yang terjadi di tubuh Airbus, dimana perusahaan yang berbasis di Eropa tersebut menduga kuat Cina ada di balik aksi picik ini. Tidak menutup kemungkinan – atau mungkin benar 100 persen, ujaran Menteri Bruno tadi merujuk pada rekam jejak Cina dalam upayanya untuk menguasai ceruk pasar dan memenangkan perang dagang dengan Amerika Serikat.  

Lagi Enak Duduk, Penumpang Lufthansa Terkena ‘Hujan Lokal’ dari Arah Lampu Baca

Kebasahan saat tengah duduk dalam penerbangan tak mungkin terjadi bila tidak ada sesuatu yang tumpah atau bocor. Belum lama ini beberapa penumpang pesawat Lufthansa harus merasakan diri meeka basah saat air menetes dari lampu baca di atas kepala penumpang. Baca juga: Sebelum Seperti Sekarang, Dulu Toilet Pesawat Gunakan Ember untuk Tampung Limbah Penumpang Dilansir KabarPenumpang.com dari laman thesun.co.uk (21/3/2019), air yang bocor dari lampu kabin tersebut kotor dan berwarna cokelat. Salah seorang blogger yang juga penumpang pesawat Airbus A380 dari Los Angeles tersebut melihat kejadian itu dan menuliskannya di blog miliknya liveandletsfly. Matthew Klint menuliskan ketika pesawat yang mereka tumpangi lepas landas dari Bandara Los Angeles, air berwarna cokelat tersebut mulai menetes dengan cepat di sekitar lampu baca di deretan kursi depan. “Pertama, itu hanya beberapa tetesan, tapi tak lama kemudian aliran tetesan yang stabil mengikuti … seperti keran yang bocor. Para penumpang, terutama wanita miskin di kursi tengah, mulai basah,” tulis Matthew di blognya. Dia mengatakan, saat itu para penumpang yang duduk dikursi tersebut memanggil awak kabin dengan menekan tombol panggilan. Sayangnya saat itu pesawat akan lepas landas dan awak kabin tidak tertarik dengan hal tersebut. Matthew mengatakan, karena tetesan air tersebut, penumpang mau tidak mau menggunakan kain tambahan untuk melindungi mereka. Menurut Matthew, air tersebut terus menetes selama sepuluh menit dan ternyata bukan hanya penumpang didepannya tetapi di baris belakang pin merasakan hal yang sama. Dia kemudian mengklaim bahwa awak kabin datang untuk melihatnya, tetapi mereka hanya menjelaskan bahwa itu adalah kondensasi dari perubahan kelembaban. Matthew mengklaim masalah itu akhirnya berhenti, meskipun dia merasa seharusnya Lufthansa “melakukan lebih dari sekadar mengangkat bahu”. “Saya kira Anda dapat menambahkan Lufthansa ke daftar A380 yang menawarkan onboard shower,” tulisnya bercanda. Orang-orang yang berkomentar di postingannya menyebutnya “kotor” dan mengatakan kompensasi seharusnya ditawarkan. Beberapa menyarankan segelas sampanye atau piyama dari kelas satu untuk dipakai agar kering. Yang lain bergurau, rasanya seperti Emirates yang punya pancuran nyata, “Kamar mandinya terbatas 10 menit.” Baca juga: ‘Melukis’ di Meja Lipat Pesawat, Penumpang ini Mendadak Viral! Masalah penyejuk udara lainnya dalam penerbangan baru-baru ini melihat kabin Jetstar terisi ‘asap’ saat pesawat berada di udara. Seorang penumpang merekam kejadian yang terjadi karena perubahan suhu, menghasilkan uap air.

On This Day: Penerbangan Trans-Atlantik Perdana yang Dibumbui Sejumlah Kendala

Memang, tidak ada hari libur nasional di tanggal 12 April 2019 ini – pun dengan jadwal cuti bersama yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Namun percayalah, 12 April merupakan tanggal yang memiliki nilai sejarah tersendiri, dimana 91 tahun yang lalu, tiga orang pionir di sektor aviasi melakukan penerbangan trans-Atlantik dari arah timur menuju barat. Dapatkah Anda membayangkan betapa bersejarahnya momen tersebut, mengingat keberadaan teknologi yang masih bisa dibilang seadanya dan belum secanggih sekarang. Baca Juga: Campur Biofuel dan Avtur, United Airlines Sukses Layani Penerbangan Trans-Atlantik Terlama! Adalah Hermann Kohl (berkebangsaan Jerman), Ehrenfried Günther Freiherr von Hünefeld (berkebangsaan Jerman), dan James Fitzmaurice (berkebangsaan Irlandia) yang melakoni perjalanan bersejarah tersebut. Sebenarnya, gagasan penerbangan trans-Atlantik ini sudah terpatri untuk dieksekusi sejak masa Perang Dunia I. Gagasan ini ditunjang dengan kemajuan teknologi di sektor aviasi yang dirasa sudah cukup dan ambisi dari sejumlah pilot yang merasa tertantang untuk mengukirkan namanya di dalam buku sejarah kedirgantaraan global.
James Fitzmaurice (tengah) dan Ehrenfried Gunther (kanan). Sumber: Kompas
Belum lagi iming-iming hadiah dari sejumlah pihak pelaku aviasi yang semakin mengobarkan asa para pilot untuk menaklukkan penerbangan lintas Samudera Atlantik ini. Sebelum mengarungi Samudera Atlantik, ketiga pilot ini sudah memiliki pengalamannya masing-masing. Sebut saja Hermann dan Ehrenfried yang telah terlebih dahulu mencoba rute penerbangan ini setahun sebelum menorehkan sejarah – 1927. Namun karena terkendala cuaca buruk, mereka berdua terpaksa Return to Base dan penerbangan tandem tersebut pun batal terlaksana. Pun dengan James yang juga pernah mencoba rute penerbangan ini bersama temannya. Namun sama seperti Hermann dan Ehrenfried, James harus mengurungkan niatnya karena terkendala kondisi cuaca.
Junkers W33. Sumber: Kompas
Pada akhirnya James memutuskan untuk bergabung dengan Hermann dan Ehrenfried untuk melakoni penerbangan trans-Atlantik ini bertiga dan mereka sepakat untuk mengudara dari timur menuju barat (Irlandia menuju Jerman). Lagi-lagi kendala cuaca hampir saja membatalkan penerbangan mereka. Hingga pada akhirnya di tanggal 12 April 1928, dengan menggunakan pesawat fixed wings, Junkers W33, mereka bertiga mengudara untuk mencatat tinta emas di sektor aviasi global. Baca Juga: Bandara Terapung, Dari Sebuah Konsep Hingga Terwujud di Jepang dan Hong Kong Ternyata, hambatan tidak hanya terjadi pra-penerbangan saja. Ketiga pilot beda kewarganegaraan ini juga sempat mengalami kendala dalam urusan komunikasi, sehingga mereka bertiga menyiasatinya dengan cara kode khusus agar penerbangan tersebut berjalan lancar. Lagi, kendala terjadi ketika pesawat tengah mengudara dan sistem pesawat mulai berjalan tidak normal. Kondisi itu diperburuk dengan cuaca yang lagi-lagi seolah tidak merestui penerbangan tersebut. Ketika semula tujuan akhir dari penerbangan ini adalah New York, akhirnya karena banyaknya aspek yang tidak memungkinkan pesawat untuk terbang menuju New York, ketiga pilot ini terpaksa mendaratkan Junkers W33 yang diberi nama Bremen di Pulau Greenly di Kanada.  

Jadi ‘Paket’ Pada Peluncuran KA Argo, Ini Dia Lokomotif CC203 Penarik Kereta Eksekutif

Dari segi kecepatan, lokomotif ini memang hanya mampu melesat maksimum 150 km per jam, namun lokomotif CC203 yang merupakan hasil pengembangan dari lokomotif CC201 ini tampil dengan desain unik, dimana bentuk kabin untuk masinisnya sudah diperbaharui dengan ujung pendek yang ‘aerodinamis’ dan juga diperlebar. Hal ini sendiri dibuat untuk kenyamanan dan mengurangi penumpang liar untuk ikut naik di depan lokomotif. Baca juga: Akhiri ‘Derita,’ Kini Masinis PT KAI Mulai Nikmati Lokomotif Ber-AC CC203 sendiri bergandar CO’Co’ yang maksudnya adalah lokomotif dengan dua bogie yang memiliki tiga poros penggerak dimana masing-masing digerakkan oleh motor traksi sendiri. Lokomotif ini sudah menggnakan motor diesel dengan duatingkat Turbocharger sehingga daya mesinnya 2150 hp.
Lokomotif CC203
Penasaran sejak kapan lokomotif CC203 ini hadir di Indonesia? Ternyata CC203 didatangkan oleh PT KAI (d/h Perumka) untuk menyambut peluncuran KA kelas Argo tahun 1995. KabarPenumpang.com merangkum dari berbagai laman sumberr bahwa, kehadirannya saat itu didatangkan langsung dari Amerika Serikat sebanyak 12 unit dan khusus untuk menarik kereta ekspres. Di awal pengoperasiannya bahkan CC203 menjadi andalan untuk menarik KA penumpang kelas eksekutif full di Pulau Jawa. Pada launching perdananya kala itu, lokomotif CC203 juga bersamaan dengan peresmian kereta api Argo Bromo dan Argo Gede di Stasiun Gambir. Menjadi pengganti lokomotif CC201, CC203 jarang sekali berdinas menarik KA ekonomi ataupun kereta barang. Dimana saja ya lokomotif CC203 tersebar? Lokomotif ini hanya di depo lokomotif yang melayani kereta-kereta komersial/eksekutif argo atau satwa. Berikut ini beberapa depo yang mendapat alokasi CC203 yakni Jatinegara, Bandung, Cirebon, Semarang Poncol, Yogyakarta dan Sidotopo. Selain di impor dari Amerika Serikat yang diproduksi oleh produksi oleh General Electric Transportasi waktu kedatangannya, nyatanya setelah itu lokomotif CC203 adalah lokomotif pertama buatan Indonesia dengan kerja sama PT INKA dengan General Electric. Indonesia membuat lokomotif ini sejak tahun 1997-2000 yang terdiri empat generasi. CC203 yang diproduksi tahun 1995 nomor 01-12 masih buatan Amerika Serikat alias pabrikan asal. Generasi ke II CC 203 generasi II di produksi 1997-1998, nomor 13-30, CC 203 generasi III di produksi 1999-2000, nomor 31-37 dan CC 203 generasi IV di produksi 2000, nomor 38-41. Jumlah CC203 sendiri ada 37 di Pulau Jawa dan empat lainnya di Lampung. Persebaran pembagiannya adalah Jatinegara ada sembilan, Bandung dan Purwokerto ada lima, Madiun empat lokomotif, Semarang Poncol dan Yogyakarta dua lokomotif, Sidotopo ada delapan serta Jember ada dua lokomotif. Sedangkan di Tanjung karang ada empat lokomotif CC203 ini. Bila di Pulau Jawa digunakan untuk menarik kereta ekspres ataupun eksekutif, lokomotif CC203 di Tanjung Karang digunakan untuk melayani dinasan KA pulp dan kayu, sebab lokomotif ini merupakan saran milik PT Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper. Sayangnya CC203 di Divre 3 ini kondisinya cukup memprihatinkan dan terancam tidak berdinas lagi karena dari awal pengoperasiannya selalu di forsir. Baca juga: Pernah Beroperasi Lima Dekade di Indonesia, Lokomotif D301 59 Jadi Monumen di Stasiun Semarang Tawang Lokomotif CC203 sendiri tidak dilengkapi dengan pendingin ruangan, namum pada awal tahun 2000-an, lokomotif ini sempat dipasangi topi yang kemungkinan kotak AC tetapi akhirnya di hilangkan. Beberapa foto jadul CC203 semasa masih menggunakan livery Departemen Perhubungan banyak memperlihatkan lokomotif yang dipasangi kotak AC tersebut.

Buntut Kecelakaan 737 MAX 8, Kini Boeing Hadapi Tuntutan di Level Korporasi

Boeing lagi-lagi kembali menjadi sorotan media massa, setelah sejumlah korporasi menuntut kompensasi terkait penangguhan pesawat komersial berjenis 737 MAX. Sebut saja maskapai asal Negeri Tirai Bambu, China Eastern Airlines yang telah mengajukan tuntuan pemberian kompensasi dari Boeing terkait penangguhan layanan tersebut. Padahal, maskapai yang berbasis di Shanghai ini berencana untuk menambah 60 armada baru di tahun 2019 ini – 11 diantaranya merupakan jenis Boeing 737 MAX. Baca Juga: Grounded Boeing 737 MAX 8 Ikut Hantam Bisnis Agen Perjalanan Ini Sebagaimana yang dirangkum KabarPenumpang.com dari berbagai laman sumber, belum diketahui secara pasti apakah maskapai ini akan melanjutkan pemesanan tersebut atau tidak. Kendati begitu, proses pengajuan kompensasi tersebut tetap bergantung pada apakah persoalan rancang bangun pesawat itu sebagai salah satu faktor utama yang memicu terjadinya kecelakaan atau tidak. Diketahui, China Eastern Airlines memiliki tiga armada Boeing 737 MAX 8 dari total 36 pesanan yang masuk ke Boeing. Beruntung, pihak maskapai harus ‘kehilangan’ tiga armada yang termasuk baru ini ketika mereka telah melewati peak season puncak arus mudik dan balik libur Tahun Baru Imlek. Walaupun begitu, pihak maskapai terpaksa mengalami kerugian akibat pesawat yang tengah jadi pusat perhatian dunia ini tidak beroperasi sebagaimana mestinya. Sederhananya seperti ini, jika ada sebuah maskapai yang masih memesan pesawat jenis Boeing 737 MAX, mungkin mereka hanya akan membatalkan pesanan tersebut dan berpindah ke lain hati. Namun lain ceritanya jika ada maskapai seperti China Eastern Airlines yang telah mengoperasikan pesawat Boeing 737 MAX (tiga unit), dan terpaksa mengandangkannya karena masalah keamanan. Wajar jika pihak maskapai melayangkan gugatan penggantian kompensasi sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap pabrikan pesawat ini. Itu baru dari sisi maskapai saja, belum lagi investor. Mengutip dari laman Reuters.com (10/4/2019), seorang penggugat utama kasus ini, Richard Seeks mengatakan bahwa kompromi Boeing mulai muncul setelah kecelakaan Ethiopian Airlines yang menewaskan 157 penumpang, lima bulan setelah kecelakaan Lion Air yang juga menewaskan 189 penumpang. Baca Juga: Pesanan ‘Kering,’ Boeing Alihkan SDM Untuk Perbaharui Sistem 737 MAX Richard Seeks mengatakan, driinya membeli 300 saham Boeing pada awal Maret, dan menjualnya dengan kerugian dalam dua minggu terakhir. Penggugat mencari ganti rugi bagi investor saham Boeing dari 8 Januari hingga 21 Maret. Tidak bisa dipungkiri, Boeing menghadapi banyak tuntutan hukum lainnya atas dua kecelakaan fatal tersebut, termasuk oleh keluarga korban dan oleh para pengambil bagian dalam rencana pensiun karyawannya.    

Ngotot Merokok di Dalam Kabin, Penumpang Alaska Airlines Dibekuk Petugas Keamanan

Sebuah penerbangan Alaska Airlines dari San Francisco menuju Philadelphia terpaksa dialihkan menuju Chicago lantaran salah satu penumpangnya bersikukuh untuk merokok di dalam red-eye flight (penerbangan dini hari) tersebut. Tidak hanya sekali, namun penumpang ini berusaha untuk menyalakan rokoknya sebanyak dua kali, dimana itu berdampak pada pengalihan perjalanan. Baca Juga: Demi Merokok, Wanita ini Sebabkan Keterlambatan 2 Jam Penerbangan di Bandara Auckland Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman wxyz.com (11/4/2019), Alaska Airlines dengan nomor penerbangan 1138 ini sebenarnya telah melakoni lebih dari setengah perjalanan menuju Philadelphia. Namun karena penumpang yang keras kepala ini, akhirnya sang pilot memutuskan untuk melakukan pendaratan di Bandara Internasional O’Hare, Chicago sekira pukul 04.22 dini hari waktu setempat. Pendaratan ini dilakukan agar penumpang bandel ini bisa diamankan oleh petugas yang berwajib dan mereka bisa melanjutkan penerbangan tersebut. Padahal, jika diperhatikan dengan seksama, setiap maskapai yang menawarkan perjalanan konvensional selalu mengingatkan kepada para penumpangnya untuk tidak merokok selama penerbangan. “Hal ini terpaksa kami tempuh karena penumpang ini (yang mencoba merokok di dalam pesawat) telah dianggap mengganggu kenyamanan penumpang lain, dan demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, penerbangan 1138 dialihkan menuju Chicago,” ujar pihak Alaska Airlines dalam sebuah keterangan tertulis. Sesampainya di Chicago, petugas kepolisian langsung menjemput pelakudi dalam pesawat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketika pihak berwajib telah berhasil membekuk pelaku dan mengeluarkannya dari penerbangan tersebut, pihak Alaska Airlines langsung melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya menyempatkan untuk mengisi bahan bakar. Baca Juga: Nekad Merokok di Kabin Sebelum Mengudara, Ini Tanggapan Pihak Citilink Indonesia Masih belum diketahui apakah pelaku akan dikenakan sanksi oleh Federal Aviation Administration (FAA). Namun sudah jelas bahwa pelaku telah merusak kenyamanan penumpang lain yang ada di dalam penerbangan tersebut dengan memaksakan dirinya untuk tetap merokok. FAA sendiri mengatakan bahwa pihaknya masih mendalami insiden yang menyebabkan keterlambatan pendaratan di Philadelphia selama kurang lebih satu jam ini. Sementara itu, pihak Alaska Airlines masih enggan berkomentar lebih jauh terkait adanya insiden yang terjadi pada Selasa (9/4/2019) kemarin ini.

Peneliti University of Michigan: Kendaraan VTOL Listrik Lebih Ramah Lingkungan Ketimbang Mobil Listrik

Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Michigan dan didanai Ford telah memeriksa kredensial lingkungan dari kendaraan Vertical Take Off Landing (VTOL) bertenaga listrik untuk melakukan perjalanan yang dibandingkan dengan mobil biasa dan mobil listrik dalam berbagai jarak perjalanan. Hasilnya melukiskan gambaran menarik tentang mobilitas masa depan. Baca Juga: Kembangkan Wahana VTOL, Uber Gandeng NASA dan Angkatan Darat AS Penelitian ini sendiri diterbitkan dalam sebuah jurnal akses terbuka, Nature Communications, dimana mereka mengasumsikan bahwa VTOL akan ditenagai oleh listrik dari pembangkit konvensional dan bukan dari sumber yang terbarukan. Selain itu, VTOL ini memiliki kapasitas untuk melakoni penerbangan yang efisien setelah penarikan energi tinggi saat lepas landas dan mendarat – dan ini merupakan hal yang masuk akal. KabarPenumpang.com melansir dari laman newatlas.com (10/4/2019), para peneliti mengambil banyak parameter realistis untuk dimasukkan ke dalam persamaan mereka, dengan asumsi bahwa pesawat akan terlihat seperti apa yang saat ini sedang dikembangkan oleh orang-orang seperti Joby, Airbus, Boeing dan Lilium, di antara banyak lainnya. Dengan demikian, para peneliti dapat mengambil langkah yang wajar untuk mengetahui berapa berat kendaraan, rasio lift-to-drag, energi khusus baterai, dan berapa banyak energi yang akan mereka gunakan selama berbagai tahap penerbangan: lepas landas, melayang, menanjakak ke ketinggian tertentu, mengarungi angkasa, hingga mendarat. Lebih mengejutkan lagi, jika moda VTOL ini melakoni perjalanan dengan jarak tempuh yang sama dengan mobil listrik, moda VTOL yang mengangkut empat penumpang menghasilkan emisi enampersen lebih rendah ketimbang mobil listrik. Jadi, dari sini saja sudah terlihat jelas bukan bahwa moda VTOL tidak hanya menawarkan perjalanan yang menyenangkan, pun mobilitas yang ramah lingkungan. Baca Juga: BlackFly, Moda VTOL Personal dengan Fleksibilitas Tinggi “Bagi saya, sangat mengejutkan melihat bahwa VTOL kompetitif dalam hal penggunaan energi dan emisi gas rumah kaca dalam skenario tertentu,” ujar Gregory Keoleian, penulis studi senior dan direktur dari Center for Sustainable Systems di University of Michigan. “VTOL dengan pay load penuh dapat mengungguli mobil listrik, dan ini sangat mengejutkan,” tandasnya. Namun kembali lagi, tidaklah mudah untuk menghadirkan VTOL sebagai moda angkut – mengingat ketatnya regulasi yang mengatur jalur udara. Hal inilah yang menjadi satu hambatan bagi para perusahaan yang berkutat dengan VTOL masing-masing.  

Emirates Hilangkan Pajangan Botol Sampanye Mewah di Bar Pesawat Kelas Satu

Saar terbang dengan duduk di kursi kelas satu, penumpang akan dimanjakan bak seorang raja dan ratu. Apalagi saat terbang dengan maskapai Emirates yang akan memberikan pengalaman luar biasa diatas pesawat selama penerbangan. Bisa dikatakan semua fasilitas kelas satu Emirates sungguh nyata dan luar biasa. Baca juga: Kata Pramugari Senior, Penumpang Asal India Menjadi yang ‘Paling Sulit Diatur’ Sayangnya meski memiliki pengalaman luar biasa, maskapai yang berbasis di Dubai ini mulai mengubah beberapa kebijakan mereka. Salah satunya adalah menghapus minuman atau sampanye mahal di bar kelas satu mereka. KabarPenumpang.com melansir laman simpleflying.com (11/4/2019), bahwa Emirates tidak akan lagi menghadirkan beberapa alkohol paling mahal di bar kelas satu. Adanya perubahan ini sendiri tidak banyak mempengaruhi dan hanya akan dirasakan penumpang kelas satu dipeawat A380 mereka. Meski tidak lagi dipajang, tetapi maskapai ini tetap menawarkan minuman beralkohol tersebut untuk penumpang kelas satu. Bahkan tampilan bagian depan kabin tidak sama dengan bilah onboard, sebab lounge memiliki tampilan yang jauh lebih bagus daripada pilihan alkohol Emirates. Memang adanya perubahan ini membuat penumpang bertanya dan menurut Emirates, ini adalah pencegahan dari beberapa pilihan alkohol mahal mereka agar tidak dicuri. Mereka menganggap ini sebagai salah satu masalah signifikan untuk merubah kebijakan tersebut. Namun, Emirates masih menawarkan Dom Perignon di kelas satu mereka dan yang ditawarkan adalah Dom Perignon 2009. Nantinya Dom Perignon 2009 akan digantikan dengan versi 2008 serta Emirates juga melayani Dem Perignon Rose 2006 di beberapa penerbangan tertentu mereka. Penumpang yang terbang di kelas satu akan dapat mencicipi Dom Perignon Rose pada penerbangan ke Asia, Australia, dan Eropa. Sayangnya, penumpang yang terbang ke Britania Raya atau Inggris tidak akan memiliki akses ke Dom Perignon Rose 2006. Jika Anda terbang di kelas bisnis, Anda juga akan melihat beberapa peningkatan pada pemilihan champagnes. Pada rute ke Eropa, Amerika Utara dan Selatan, penumpang kelas bisnis akan disuguhi Veuve Clicquot Extra Brut Extra Old. Untuk penumpang premium, ini adalah perubahan yang disambut baik karena lebih banyak maskapai penerbangan memotong biaya dan mengurangi pengalaman yang mereka tawarkan. Sangat jarang melihat maskapai meningkatkan jumlah yang mereka habiskan untuk produk lunak mereka. Baca juga: Lho! Di Emirates, Ada Sampanye Sisa Dituang Ke Dalam Botol Tetapi Emirates telah menunjukkan minat yang luar biasa dalam memanjakan penumpang premium mereka. Emirates sedang meningkatkan permainan mereka yang sudah fantastis ketika datang ke pilihan alkohol onboard. Menghapus beberapa botol dari tampilan mungkin mengecewakan bagi sebagian dari Anda para pelancong yang mengerti Instagram. Meski begitu, Emirates masih menawarkan produk kelas satu yang fantastis.

Memo Internal Tersebar, Emirates Peringatkan Awak Kabin yang ‘Layover’ untuk Bersikap Sopan

Selama waktu singah di suatu negara atau layover, awak kabin bisa beristirahat untuk bersiap dalam perjalanan yang akan ditempuh selanjutnya. Layover sendiri menjadi sesuatu yang jamak dilakukan oleh maskapai yang melayani penerbangan jarak jauh, dengan tujuan agar awak kabin dapat fresh berkat pergantian kru setelah penerbangan jarak jauh. Dan terkait layover, baru-baru ini Emirates mengirimkan memo internal kepada stafnya yang terdiri dari 20 ribu awak kabin. Baca juga: Coba Bunuh Diri, Awak Kabin Lompat dari Lantai 3 Gedung Kantor Pusat Emirates Memo tersebut meningatkan mereka bila kesalahan kecil saja pada saat layover bisa merusak reputasi maskapai yang berbasis di Dubai tersebut. Email yang dikirim oleh Thomas Ney mengatakan pada awak kabin bahwa waktu yang dihabiskan untuk layover sendiri disediakan agar mereka bisa beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Dilansir KabarPenumpang.com dari paddleyourownkanoo.com (4/4/2019), sayangnya memo yang dikirim secara internal tersebut bocor setelah beberapa hari lalu ada kejadian dua anggota awak kabin Emirates yang dirampok dengan kejam di Bali. Awak kabin tersebut tengah mengendarai sepeda motor saat insiden ,dan awak kabin pria disebut-sebut terluka parah serta tengah dalam perawatan untuk pemulihan di rumah sakit Bali. Pengirim memo tersebut menyebutkan awak kabin telah melakukan tindakan tidak sensitif, karena tampaknya menghubungkan apa yang terjadi di Bali dengan perilaku yang tak pantas. Email itu memberitahukan pada awak kabin bahwa beberapa rekan mereka tidak mengelola waktu singgah dengan tepat dan mengingatkan bahwa harus mengambil tanggung jawab dengan sangat serius. Beberapa awak kabin Emirates berpendapat, bahwa memo tersebut mirip dengan pemberitahuan dari perusahaan untuk tetap di kamar hotel selama masa layover. Hal ini karena mereka takut bila sesuatu bisa terjadi diluar kendali selama masa singgah tersebut. Ney mengatakan dalam memo bahwa insiden tersebut mengakibatkan adanya intervensi dari perusahaan dan dalam insiden lain pihak berwenang setempat ikut terlibat. Ternyata masalah ini tidak hanya dirasakan oleh Emirates, melainkan hampir semua maskapai mengalami hal yang sama dan berurusan dengan awak kabin yang tak dapat mengendalikan waktu saat layover. Ada beberapa pesta yang diadakan di kamar dan awak kabin mabuk, ini bisa menghancurkan hubungan maskapai dan hotel atau insiden lain yang lebih serius seperti penggunaan narkoba. Tetapi bukan hanya awak kabin yang tidak mengelola persinggahan mereka dengan benar, seperti beberapa kasus baru-baru ini, pilot untuk maskapai penerbangan Jepang yang melebihi batas alkohol legal setelah layover mereka. Ney benar dalam memberi tahu staf bahwa “disayangkan dan patut disesalkan” adalah untuk mengingatkan sebagian besar staf tentang harapan maskapai. Faktanya, Emirates sangat jelas tentang harapannya terhadap awak kabin selama perjalanan perekrutan dan pelatihan dan kemudian sepanjang karier mereka dengan maskapai. Awak kabin Emirates adalah duta perusahaan dan setiap saat harus selalu berperilaku “dengan standar perilaku tertinggi”. Baca juga: Dibalik Keanggunan, Ternyata 15 Pramugari Emirates Tergabung ke Dalam Tim Rugby Pada tahun 2017, seorang anggota kabin Inggris dari Emirates ditemukan tewas di jalur kereta api di Amsterdam saat singgah di kota Belanda. Michael Moran baru saja bergabung dengan Emirates ketika ia hilang.