Serba Otomatis dan Komputerisasi Turunkan ‘Kemampuan’ Pilot Ketika Mengudara
Perkembangan menyeluruh yang terjadi di sektor aviasi global memang nyatanya dapat membuat perjalanan penumpang menjadi lebih nyaman dan aman. Namun di balik semua kenyamanan dan keamanan yang ditawarkan oleh pihak maskapai, perkembangan ini ternyata tidak melulu dipandang baik oleh para pengemudi burung besi – dimana mereka mengeluhkan bahwa kenikmatan yang mereka rasakan ternyata menghapus kemampuan mengudara mereka secara perlahan.
Baca Juga: Frank William Abagnale Jr. – Pilot ‘Gadungan’ yang Sukses Berkeliling Dunia Secara Gratis!
Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman usatoday.com (25/5/2019), tidak bisa dipungkiri, sistem autopilot dan komputerisasi yang ada pada ruang kokpit memang merupakan bagian integral dari pesawat jet modern, namun seperti yang suda disinggung di atas, ini tidak melulu berdampak baik pada para pilot karena mereka khawatir sistem-sistem tersebut akan mengurangi pengembangan dan mempertahankan kemampuan mereka untuk mengendalikan si burung besi.
“Kami sudah membicarakan hal ini di industri selama bertahun-tahun. Para pilot kehilangan keterampilan terbang dasar mereka, dan ada ketergantungan pada otomatisasi,” ujar seorang profesor di Embry-Riddle Aeronautical University, Les Westbrooks.
Hal ini diungkapkan Les pasca kecelakaan maut Ethiopian Airlines yang jatuh di Addis Ababa pada bulan Maret 2019 kemarin, karena dirinya menilai ada sesuatu yang janggal pada kecelakaan yang pada akhirnya berbuntut panjang ini. Les yang kala itu sempat melihat flight data recorder mengatakan bahwa pilot kurang terampil dalam menangani masalah trim sabilizer awal – kendati nyatanya ada masalah pada sistem komputer onboard Boeing.
Setiap pilot akan melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap pesawat sebelum mereka mengudara, dan pre-flight check ini sudah merupakan bagian dari kehidupan seorang pilot yang tidak boleh terdapat miss sedikitpun.
“Anda harus menghafalnya (pre-flight check), karena Anda setiap waktu akan diuji oleh keseluruhan sistem tersebut, apakah Anda cukup cermat untuk menunggangi sebuah pesawat atau tidak,” ujar Elwell, pilot American Airlines yang sudah mengabdi selama 16 tahun.
Baca Juga: Ketika Penerbangan Jarak Jauh, Apa Saja Sih Yang Dilakukan Pilot?
Memang, terbuai dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh sistem yang sudah terintegrasi melalui komputerisasi semacam ini merupakan saturasi tugas – menurut salah satu pilot kawakan, John Cox.
Namun alih-alih menyalahkan sistem otomatisasi, John Cox menyebutkan bahwa sistem otomatsasi bukanlah absolut sebagai penyebab menurunnya kemampuan seorang pilot, melainkan salah satu faktor pendukung.
Ketahuan Mondar-Mandir di Gate, Dua Penumpang MRT Ternyata Ikut Uji Coba SimplyGo
Pada 18 Mei 2019 dalam sebuah video rekaman CCTV atau kamera pengawas, seseorang pria dan wanita lanjut usia masuk dan keluar dari gerbang MRT secara terus menerus. Ini kemudian viral di media sosial dan menjadi perbincangan hangat di Singapura.
Baca juga: Canberra yang Ini Bukan Ibukota Australia, Tapi Nama Stasiun MRT Singapura
Bahkan sampai banyak spekulasi yang tersebar luas terkait perilaku kedua orang ini. Insiden yang terjadi di Stasiun Outram Park tersebut terjadi pada 17 Mei 2019 atau satu hari sebelum video tersebut diunggah ke laman Facebook.
Dilansir KabarPenumpang.com dari laman straitstimes.com (24/5/2019), karena masalah ini kemudian pihak Otoritas Transportasi Darat (LTA) Singapura melakukan penyelidikan, dan kemudian dikonfirmasi bahwa yang dilakukan kedua orang tersebut bagian dari pengujian yang dilakukan oleh Nest sebagai bagian dari uji coba SimplyGo. LTA mengatakan tersebut melalui sebuah pernyataan pada Jumat (24/5/2019) kemarin.
“Kami sejak itu memperingatkan Nets bahwa kegiatan pengujian mereka seharusnya tidak menyebabkan gangguan pada transportasi,” kata pihak LTA.
Juru bicara Nest mengatakan, pihaknya nantinya akan bekerja sama dengan LTA pada tes lanjutan untuk kartu kami di sistem transportasi umum. Setelah video insiden itu beredar, warganet berspekulasi bahwa pria itu menyalahgunakan prakarsa Travel Smart Rewards LTA.
Inisiatif ini memungkinkan penumpang untuk mendapatkan poin selama perjalanan mereka di MRT dan LRT pada hari kerja, dan poin tersebut dapat digunakan untuk memenangkan hadiah uang tunai. Dalam pernyataannya, LTA mengkonfirmasi bahwa insiden dalam video itu tidak terkait dengan inisiatif Travel Smart Rewards, yang akan berakhir pada akhir Juni. LTA memperluas uji coba SimplyGo ke Nets Desember lalu.
Sistem, yang diluncurkan untuk pengguna Mastercard pada 4 April, akan diperpanjang untuk pengguna Visa mulai 6 Juni. SimplyGo sendiri merupakan fase selanjutnya dari sistem pembayaran ongkos transportasi Singapura yang memungkinkan penumpang untuk menggunakan kartu kredit atau debit mereka dengan fungsi pembayaran transportasi secara contactless.
Baca juga: (Lagi) Keributan di MRT Singapura: Warganet Justru Anggap Sebagai ‘Hiburan’
LTA dan TransitLink telah bermitra dengan berbagai skema pembayaran untuk memperkenalkan pembayaran tanpa kontak (contactless) untuk kereta dan bus. Pengguna pun tidak perlu melakukan top-up di muka dan ongkos kereta dan bus akan diproses dan dibebankan ke tagihan kartu kredit atau debit penggunanya.
Terminal 4 Bandara Changi Kini Dilengkapi 14 Pemindai Tubuh dengan Teknologi X-CT Scan
Terminal 4 adalah terminal baru di Bandara Changi Singapura. Terminal 4 yang sudah beroperasi sejak akhir Oktober 2017, memberikan layanan yang berbeda dari terminal 1, 2, dan 3 Bandara Changi karena menawarkan sistem Fast and Seamless Travel (FAST) atau sistem pelayanan mandiri saat tiba maupun saat keberangkatan. Terminal 4 di Bandara Changi telah menerapkan sistem layanan mandiri mulai dari check-in, drop-bagage, dan imigrasi.
Baca juga: Terminal 4 Changi Hadirkan Taman Bermain Chandelier
Meski dirancang serba canggih dan begitu memudahkan bagi calon penumpang pesawat, namun aspek keamanan tidak lantas dibuat kendor. Sebanyak 14 pemindai tubuh ada di Terminal 4. Alat pemindai ini akan digunakan untuk memudahkan dalam membantu menyaring penumpang dan tentunya meningkatkan keamanan.
Hebatnya, pemindai tubuh ini juga dapat mendeteksi barang-barang yang tersembunyi di balik pakaian dalam. Dilansir KabarPenumpang.com dari laman thestar.com.my (28/5/2019), awalnya saat dibuka Oktober 2017 lalu, Terminal 4 hanya memiliki empat alat pemindai.
Kemudian berangsur-angsur ditambah hingga sepuluh unit lagi yang telah dipasang secara progresif di tiga terminal lainnya. Changi Airport Group mengatakan, Terminal 4 merupakan tempat uji coba untuk teknologi baru dengan sepuluh mesin sinar-X CT.
Kehadiran mesin pemindai ini juga memungkinkan penyaringan tas tangan dimana pelancong tak perlu mengeluarkan laptop mereka dari dalam tas. Teknologi pemindaian tubuh sendiri sudah ada selama lebih dari satu dekade dan model sebelumnya ditolak karena masalah privasi dan kesehatan.
Bandara Changi melakukan uji coba pada awal 2008 lalu. Untuk mengurangi masalah privasi, pemindai tubuh yang digunakan di Changi dan bandara lainnya tidak merinci bentuk benda yang sebenarnya atau hanya secara garis besar saja.
Mesin-mesin pemindai juga menggunakan teknologi gelombang milimeter untuk mendeteksi barang-barang logam dan non-logam. Teknologi ini bersertifikat aman dan tidak memiliki risiko kesehatan dan keselamatan yang diketahui karena menggunakan bentuk teknologi elektromagnetik non-ionisasi berdaya rendah.
Para ahli mengatakan, jumlah radiasi elektromagnetik yang dipancarkan jauh lebih kecil dari yang dipancarkan oleh ponsel. Sementara itu, terus ada perlawanan dari kelompok-kelompok tertentu, terutama di Amerika Serikat untuk menghentikan penggunaan teknologi ini.
Mereka mengatakan, pemindai seperti itu sangat penting untuk keamanan bandara dan bisa saja, misalnya, mendeteksi teroris Inggris Richard Reid. Lebih dikenal sebagai Pengebom Sepatu, ia telah mencoba meledakkan alat peledak yang dimasukkan ke dalam sepatunya saat dalam penerbangan American Airlines dari Paris ke Miami pada tahun 2001.
Selain AS dan Singapura, banyak negara lain, termasuk India dan Selandia Baru, juga telah mengumumkan rencana untuk memasang pemindai tubuh di bandara. Mendukung langkah tersebut, Ong Kok Leong, manajer umum grup perusahaan keamanan Apro Asian Protection, mengatakan pemindai tubuh yang tidak lagi mengungkapkan kontur tubuh sebenarnya kurang mengganggu daripada pat-down. Changi juga harus mendapatkan lebih banyak CT scanner untuk tas tangan.
“Salah satu pengalaman paling ditakuti dalam bepergian adalah harus mengosongkan laptop dan perangkat elektronik lainnya dari bagasi genggam dan mengemasnya kembali. Dengan pemindai CT, ini akan diperlukan hanya berdasarkan kasus per kasus jika pemindai mendeteksi barang-barang yang mencurigakan di dalam bagasi,” ujar Leong.
Baca juga: Terminal 4 Bandara Changi Hadirkan Kemewahan dan Teknologi Tinggi
“Kemampuan untuk menghasilkan gambar 3D juga akan secara signifikan mengurangi jumlah positif palsu,” kata Ong. Ia menambahkan, kehadiran teknologi baru yang lebih luas tidak hanya akan meningkatkan tingkat keamanan di Changi, tetapi juga akan membuat proses penyaringan tidak terlalu membuat stres bagi mayoritas calon penumpang.
Bus Kota di Chennai, Potret Buruk Transportasi di India
Tak satu pun dari 100 bus Volvo ber-AC yang diluncurkan dengan banyak keriuhan pada tahun 2008 silam berjalan di Chennai pada musim panas ini. Hanya sekitar sekitar 50 unit dari bus AC baru ini yang diharapkan dapat mulai beroperasi pada bulan Agustus 2019 mendatang dengan segelintir masalah tender yang baru saja diselesaikan. Rata-rata, setiap bus akan menelan biaya ₹25 lakh (berkisar Rp517 juta) dan biaya akuisisi keseluruhan akan sekitar ₹13 crore (berkisar Rp26,9 miliar).
Baca Juga: Chennai Mofussil, Terminal Bus Terbesar dengan Kapasitas 2.000 Bus
Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman timesofindia.com (23//5/2019), sebanyak 100 bus bermerk Volvo yang sebagian besar beroperasi di South Chennai sangatlah populer di kalangan penumpang karena ongkosnya yang relatif murah. Tarif dasar bus yang diberlakukan di Chennai berkisar antara ₹15 atau sekitar Rp3.100 ketika masa promosi pasca peluncuran dan harganya naik ke angka ₹25 atau yang berkisar Rp5.100 ketika sudah memasuki harga normal.
Menurut data resmi yang diluncurkan oleh operator, dalam satu hari, bus-bus ini bisa mengumpulkan pendapatan ₹15.000 (Rp3,1 juta)hingga ₹18.000 (Rp3,7 juta). Dilatarbelakangi oleh harganya yang murah dan diminati oleh penumpang, maka Metropolitan Transport Corporation (MTC) bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan dan pengalaman penumpang dengan cara meng-upgrade bus-bus tersebut. Dilaporkan, MTC lebih memilih untuk mengganti bus-bus berbiaya murah ini dengan armada baru karena terkendala masalah finansial ketika harus memperpanjang kontrak perawatan tahunan.
Layakya bus yang beroperasi setiap hari dan sudah mulai termakan usia, bus-bus yang menjelma menjadi salah satu tulang punggung transportasi di Chennai sana mulai mengalami kemunduran dari segi kelaikan moda – mulai dari panel belakang bus yang tidak tertutup dengan sempurnakarena ada masalah pada sistem pembuangan dan pendinginan hingga masalah operasional lainnya. Kurang dari delapan tahun sejak diluncurkan, lebih dari 80 persen bus-bus ini dinyatakan tidak layak dan hanya segerintil saja yang masih beroperasi hingga tahun 2018 lalu.
Baca Juga: Sabotase Sistem Sinyal, Ribuan Penumpang Chennai Metro Rail Limited Terbengkalai
Sementara untuk bus baru yang nantnya akan menggantikan primadona penumpang di Chennai ini, para pejabat terkait mengatakan bahwa mereka akan dilengkapi dengan bangku yang lebih luas dan sistem pendinginan yang lebih baik. Pun dari segi operasional, dimana mesin berkekuatan 177HP akan menggantikan pendahulunya yang hanya berkapasitas 160HP.
Jadi, kita tunggu saja perkembangan selanjutnya pada bulan Agustus mendatang!
Serupa Kasus Singapore Airlines, Delapan Maskapai AS Akui Tidak Operasikan Kamera di Layar Hiburan
Setelah beberapa waktu yang lalu salah satu penumpang dari Singapore Airlines memaparkan bahwa drinya merasa diawasi oleh kamera yang terletak di layar hiburan seat back, kini para penumpang yang berada di Amerika Serikat (AS) juga harus mempersiapkan diri guna menghadapi kenyataan yang serupa dengan penumpang Singapore Airlines tersebut – dimana eksistensi dari kamera pada layar hiburan bisa saja mengganggu kenyamanan saat mengudara.
Baca Juga: Penumpang Keluhkan Ada ‘Kamera Tersembunyi’ di Layar Hiburan Singapore Airlines
Sebagaimana yang dikutip KabarPenumpang.com dari laman economist.com (10//5/2019), bagi para penumpang layanan penerbangan Negeri Paman Sam dihimbau untuk tidak kaget apabila melihat ada stiker atau lakban/selotip yang menutupi kamera di layar hiburan. Hadirnya stiker atau benda melekat lain untuk menutupi kamera ini merupakan tindak lanjut dari kemarahan penumpang Singapore Airlines yang telah disebutkan di atas.
Ya, berita tentang kamera yang dikhawatirkan akan merekam data pribadi penumpang ini dengan sangat cepat menyebar dan menjadi viral dan penumpang yang merasa tidak nyaman akibat hadirnya kamera ini langsung menutupinya dengan menggunakan benda melekat. Sejurus sesaat pemberitaan ini menyebar, pihak Singapore Airlines tidak menampik bahwa benda yang disangkakan kamera ini memang benar adanya, hanya saja kamera tersebut berada dalam kondisi nonaktif.
Kendati beda benua, namun tiga raksasa aviasi Negeri Paman Sam, American Airlines, Delta Airlines, dan United Airlines juga memiliki kamera yang terletak pada posisi yang sama dengan di Singapore Airlines. Sekira bulan Maret 2019 kemarin, dua Senator Amerika menuntut agar delapan maskapai yang beroperasi di bawah bendera Amerika mengungkapkan apakah mereka merupakan maskapai yang mengoperasikan kamera di layar hiburannya atau bukan.
Kendati mendapatka tekanan dengan nada yang serupa dengan penumpang Singapore Airlines, namun ke-delapan maskapai ini bersikeras bahwa kendati kamera yang menebarkan teror tersendiri terhadap penumpang, namun mereka tidak pernah mengoperasikannya – apalagi untuk mengambil data penumpang secara ilegal.
Baca Juga: Khawatir Identitas Anda ‘Terekam’ oleh Kamera di Layar Hiburan? Tutupi Pakai Plester Luka Saja!
Entah apa yang melandasi ketakutan para penumpang yang mengecam hadirnya kamera pada layar hiburan di pesawat – apakah mereka khawatir pihak maskapai akan merekan kegiatannya selama mengudara, atau bahkan yang lebih rumit lagi, mengambil data pribadi dengan metode gabungan Face Recognizing.
Di Tengah Lesunya Pasar, Mulai Juni Citilink Buka Penerbangan Langsung ke Phnom Penh
Phnom Penh, ibu kota Kamboja, sebentar lagi dapat disambangi pelancong Indonesia dengan penerbangan langsung dari Jakarta. Yang melakoni layanan ini adalah maskapai berbiaya hemat (LCC) Citilink. Jika tak ada aral melintang, penerbangan langsung ini akan dimulai perdana pada Juni 2019 mendatang.
Baca juga: Kamboja Punya Kereta Bandara yang Unik, Mirip Railbus Batara Kresna di Solo
Nantinya anak perusahaan Garuda Indonesia tersebut membuka rute tiga kali seminggu dengan terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju ke Bandara Internasional Phnom Penh.
“Rute regional terbaru dari Citilink menuju ke Phnom Penh merupakan peringatan ke 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia dengan Kamboja.” ujar Presiden Direktur Citilink Indonesia, Juliandra Nurtjahjo yang dikutip KabarPenumpang.com dari keterangan tertulis, Selasa (28/5/2019).
Peluncuran rute baru ini sendiri dilakukan di Kantor Pariwisata Kamboja di Phnom Penh yang dihadiri oleh Dua Besar Republik Indonesia untuk Kamboja, Sudirman Haseng dan asosiasi pariwisata serta perhotelan Kamboja.
“Penerbangan langsung Indonesia-Kamboja kini bukanlah lagi mimpi, namun suatu kenyataan, saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia, Kementerian Pariwisata Indonesia, KBRI Phnom Penh, Citilink dan berbagai pihak lainnya atas dukungan dan kerja sama yang baik mewujudkan impian kita bersama,” kata Menteri Pariwisata Kamboja Dr Thong Khon.
Adanya penerbangan langsung dari Indonesia menuju Kamboja bukanlah hal mudah dan telah melalui berbagai diskusi sejak awal gagasan ini dicetuskan. Tak hanya itu, bahkan beberapa maskapai penerbangan Indonesia telah mempelajari pangsa pasar Kamboja dan mendapatkan beberapa faktor pasar menjadi kendala utama dalam pewujudan penerbangan langsung.
Kedua Pemerintah bersepakat bahwa penerbangan langsung tersebut sangat penting untuk memperluas hubungan kerja sama bilateral di berbagai sektor seperti perdagangan, pariwisata, dan investasi serta meningkatkan people-to-people contacts. Pada penerbangan langsung pada Juni 2019, Citilink sendiri akan mengoperasikan pesawat Airbus A320 dan mampu mengangkut 180 penumpang.
Rute Jakarta-Phnom Penh ini merupakan rute internasional baru yang ketiga di tahun ini setelah Surabaya-Kuala Lumpur dan Jakarta-Kuala Lumpur. Citilink juga memiliki penerbangan komersial ke Penang, Dili dan Timor Leste. Vice President of Corporate Strategy Heriyanto menyatakan Citilink adalah premium LCC yang menyajikan makan dan wifi gratis selama penerbangan.
KBRI Phnom Penh terus bekerja untuk meyakinkan maskapai penerbangan dari Indonesia untuk membuka penerbangan langsung ke Kamboja. Pada 2018, lebih dari delapan ribu warga Kamboja mengunjungi Indonesia dan lebih dari 55 ribu warga Indonesia berkunjung ke Kamboja. Penerbangan ini juga merupakan sebuah terobosan untuk menyediakan rute yang cepat dan mudah bagi lebih dari 3.500 penduduk Indonesia yang tinggal di Kamboja.
Baca juga: Setelah 45 Tahun, Jalur Kereta Api Kamboja-Thailand Dibuka dengan Sejumlah Syarat
Dengan pertimbangan di atas, maka tanpa keraguan kedua negara perlu bekerja sama untuk meningkatkan destinasi pariwisata mereka dan memperluas kerja sama demi kepentingan kedua negara.
Adanya penerbangan langsung dari Citilink ini, bisa dikatakan melampaui Garuda Indonesia yang memiliki penerbangan tidak langsung menuju ke Phnom Penh (transit melalui Bangkok) serta melakukan code share dengan Bangkok Airways. Bersama Bangkok Airways, Garuda Indonesia melayani penerbangan 4x seminggu ke Phnom Pehn.
