Selama ini kata delay telah melekat pada maskapai Lion Air, sudah barang tentu stigma tersebut ingin dihilangkan seiring dengan dilakukannya perbaikan kinerja, khususnya pada tingkat ketepatan waktu/on-time performance (OTP). Dan hari ini (23/4/2019), Lion Air secara resmi merilis bahwa OTP maskapai berlogo kepala Singa tersebut sudah mencapai angka 85,97 persen.
Baca juga: Garuda Indonesia Capai OTP Tertinggi 95,8 Persen di Arus Mudik Lebaran 2018
Level OTP tersebut dihitung pada periode Januari – Maret 2019 dengan total frekuensi terbang 36.000 (rata-rata per hari 400-420). Pencapaian ini menunjukkan rata-rata kinerja Lion Air tertinggi berdasarkan OTP, dibandingkan rata-rata 65 -70 persen perolehan di 2018.
Data on-time merupakan ketepatan pesawat saat kedatangan (arrival) atau keberangkatan (departure) dalam waktu kurang dari 15 menit dari jadwal yang ditentukan. Penghitungan tersebut dilakukan berdasarkan laporan Integrated Operation Control Center (IOCC) Lion Air Group secara tepat waktu dan bersamaan (real time) pada triwulan pertama 2019.
Dalam usaha menjaga tingkat ketepatan waktu sejalan menjawab pergerakan penumpang dan pesawat, Lion Air senantiasa melakukan koordinasi intensif bersama pihak terkait guna memastikan kelancaran penerbangan setiap hari.
Untuk pengaturan mekanisme operasi pesawat, Lion Air memiliki utilisasi 8-9 jam per hari, rata-rata enam pesawat menjalani perawatan (schedule maintenance) serta rata-rata lima pesawat sebagai cadangan (stand by).
Dikutip dari siaran pers, Lion Air mengoptimalkan pesawat dengan mengelola rotasi (pergerakan pesawat) disesuaikan jarak pada rute, infrastruktur bandar udara, tingkat keterisian penumpang (load factor) dan lainnya. Lion Air menggunakan sistem yang terstruktur dan koordinasi yang berkesinambungan antara perawatan pesawat (maintenance), tim operasional serta keputusan yang cepat (quick action) guna menentukan rotasi baru apabila ada hambatan yang terjadi di lapangan (irregularities) guna mengurai dampak keterlambatan penerbangan.
Baca juga: Performa Penerbangan Haji, Antara Level OTP dan Ketersediaan Pesawat Sewaan
Standar prosedur pengoperasian pesawat udara diberlakukan menurut aturan dan petunjuk dari pabrik pembuat pesawat, termasuk pemeliharaan pesawat, pengecekan komponen pesawat, pelatihan awak pesawat serta hal lainnya. Lion Air juga mengikuti prosedur yang diterapkan oleh DKPPU (Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara), Kementerian Perhubungan RI.
Taksi listrik Blue Bird telah diluncurkan 22 April kemarin, dan rencananya untuk tahap awal ada 30 armada yang akan beroperasi di sekitaran Jakarta mulai bulan Mei mendatang. Sebagai layanan taksi dengan wahana baru, membuat beberapa warga bertanya-tanya, berapakah besaran tarif yang dikenakakan untuk bisa naik taksi listrik ini?
KabarPenumpang.com melansir dari laman liputan6.com (22/4/2019), ternyata tidak ada perbedaan di antata tarif e-Taxi Blue Bird dengan yang biasanya atau bisa dikatakan sama persis dengan konvensional yang ada saat ini.
“Untuk tarif kami targetkan tetapi sama dengan Blue Bird lainnya karena saat ini kami belum mendapatkan mobil dengan harga yang bisa membuat tarif menjadi lebih murah walaupun charger listriknya lebih murah dibandingkan bahan bakar minyak,” ujar Direktur PT Blue Bird Adrianto Djokosoetono.
Blue Bird yang akan menggunakan mobil listrik BYD tarif per km adalah Rp4100 dan untuk Tesla yang digunakan Silver Bird Rp8000 hingga Rp9000 per km-nya. Adrianto mengatakan, spesifikasi kendaraan yang digunakan sebagai e-Taxi sama persis dengan taksi-taksi listrik yang beredar di Cina maupun Inggris.
Pihak Blue Bird menghadirkan 25 unit BYD dan empat unit Tesla di armadanya. Adapun tipe taksi tersebut yakni BYD e6 A/T dan Tesla X 75D A/T sebagai e-Taxi Blue Bird Group.
Baca juga: Spektakuler! Sedan Tesla Mampu Derek Dreamliner Qantas Sejauh 300 Meter
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan merekomendasikan agar Blue Bird mengaplikasikan sistem fast charging untuk armada mereka. “Dengan durasi pengisisan lebih cepat, cuma 25 menit tentu akan membantu operasional kendaraan (armada e-Taxi Blue Bird) Anda,” kata Jonan.
Jonan juga menyebutkan, pihaknya terus memperbanyak Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) untuk mendukung era kendaraan listrik. “Sejauh ini, sudah ada 1600 SPLU dan tahun ini minimal akan menjadi 2000 unit,” tambah Jonan.
Salah satu nama pahlawan kelahiran Yogyakarta ini hampir tidak pernah absen dari setiap jalanan di kota-kota besar yang ada di Tanah Air. Pangeran Diponegoro, Putra sulung dari Sultan Hamengkubowono III ini berdedikasi besar terhadap perang yang terjadi di Jawa pada tahun 1825 hingga 1830. Dan diantara sejarah hidupnya, ternyata debut pahlawan kelahiran 11 November 1785 ini tak bisa dikesampingkan dari sejarah pembangunan jalur kereta pertama di Pulau Jawa.
Baca Juga: Jalur Kereta Terpendek di Dunia, Ternyata ada di Vatikan
Kendati salah satu faktor utama pecahnya Perang Diponegoro adalah karena campur tangan pihak Belanda di dalam Keraton Yogyakarta, yang kala itu baru saja terjadi pergantian kekuasaan dari Sri Sultan Hamengkubuwono III ke Sri Sultan Hamengkubuwono V, namun tidak sedikit literasi yang juga menyebutkan bahwa pembangunan jalur kereta api menjadi faktor yang menyulut pecahnya perang yang juga dikenal dengan nama Perang Jawa ini.
Mengutip dari buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk Kelas V Sekolah Dasar terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional 2008, karangan Endang Susilaningsih dan Linda S Limbong, dituliskan bahwa kekecewaan Pangeran Diponegoro memuncak ketika Patih Danuredjo (wali Raja Hamengkubuwono IV yang kala itu masih berumur 10 tahun) atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak (patok) untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhur dari Pangeran Diponegoro.
Apabila paham pemasangan patok oleh Belanda untuk pembangunan jalur kereta api di Indonesia ini terjadi di awal tahun 1825 ini menjadi salah satu faktor penyebab pecahnya Perang Diponegoro, maka dapat di tarik benang merahnya bahwa ada persaingan yang cukup sengit antara Belanda dan Inggris. Pasalnya, masih di era yang sama (tahun 1825), pihak Inggris telah terlebih dahulu mengembangkan dan meluncurkan lokomotif uap pertama mereka yang tidak hanya mampu mengangkut logistik (batu bara dan lain-lain) saja, melainkan juga dengan penumpang.
KabarPenumpang.com merangkum dari berbagai laman sumber, Stockton and Darlington Railway merupakan perusahaan kereta api partama yang melayani publik dengan menggunakan lokomotif uap. 27 September 1825 merupakan tanggal peluncuran dari rangkaian kereta yang digagas oleh George Stephenson.
Menghubungkan Darlington dan Stockton, kala itu George Stephenson berhasil mengemudikan lokomotif uapnya dengan ‘muatan’ 450 penumpang – kecepatannya pun masih sangat pelan berkisar 24 km per jam saja. Kereta yang dikemudikan oleh George Stephenson tersebut memboyong 28 gerbong, dimana 21 gerbong diisi oleh penumpang, sedangkan sisanya diisi oleh batu bara.
Ya, pada era tersebut, baik Belanda maupun Inggris serta sejumlah negara penjajah lainnya memang terkesan saling pamer dan unjuk kebolehan siapa negara yang paling kuat dan paling maju dalam ekspansi kolonial. Ada kemungkinan pihak Belanda menggunakan tanah Jawa sebagai lahan mereka untuk ‘uji coba’ apakah jaringan perkeretaapian yang mereka bangun dapat berjalan sempurna – sebelum akhirnya diterapkan di tanah mereka sendiri.
Baca Juga: Ternyata, Trem Listrik di Jakarta Lebih Dulu Ketimbang di Belanda
Hipotesa ini ditunjang oleh pembangunan trem pertama yang ternyata bukan di Belanda, melainkan di Jakarta. Batavia Electrische Tram Maatschappij (BETM) yang mengoperasikan trem listrik di Jakarta pertama kali menjalankan kereta ini pada April 1899, sedangkan pihak Belanda baru mengoperasikan trem listrik pertamanya pada Juli 1899. Kendati hanya berselang tiga bulan saja, tapi tetap saja Indonesialah yang terlebih dahulu mengoperasikan trem listrik ketimbang Belanda.
Jadi, kembali lagi ke topik awal, apakah pemasangan patok untuk pembangunan jalur kereta api di tanah Jawa menjadi salah satu faktor pecahnya Perang Diponegoro?
Jet Airways, maskapai penyedia layanan penuh (full service) dan dikenal sebagai yang kedua terbesar di India setelah Air India, diwartakan telah resmi mengumumkan berhenti beroperasi akibat krisis keuangan yang telah mendera sejak Februari 2019. Beragam upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan maskapai yang telah beroperasi 26 tahun ini, salah satunya dengan pendanaan dana darurat dari perbankan. Namun sayang upaya pendanaan gagal, hingga pada 17 April 2019 maskapai resmi menyatakan berhenti beroperasi.
Baca juga:Pilot Lupa Aktifkan Pengatur Tekanan Kabin, Jet Airways Terpaksa Return to Base
Jet Airways mulai beroperasi pada 1993, pada dekade 90-n maskapai ini menjadi salah satu yang terkemuka di India, terlebih Jet Airways membuka rute internasional ke Singapura, London dan Amsterdam.
Didirikan oleh Naresh Goyal, pada awal 2000-an maskapai ini mulai mendapat tekanan pasca hadirnya maskapai penerbangan berbiaya murah (low cost carrier) di India, yaitu SpiceJet dan IndiGo. Teknanan muncul terkait tarif, lantaran kedua maskapai mampu menawarkan harga tiket yang jauh lebih murah untuk rute yang sama.
Mulai didera masalah finansial, akhirnya melibatkan maskapai Abu Dhabi, Etihad Airways, dengan suntikan dana lewat pembelian 24 persen saham Jet Airways pada 2013 lalu. Aksi korporasi ini membuat jalan Jet Airways untuk pulih semakin terang. Perusahaan pun memesan ratusan pesawat baru untuk mengimbangi permintaan terbang yang meningkat.
Sayangnya, ekonomi makro India tak mendukung, terutama mata uang India jatuh ke rekor terendahnya pada 2018 lalu, mendorong kenaikan biaya avtur. Perusahaan mulai limbung dan gagal dalam membayarkan kewajibannya kepada staf, termasuk krediturnya.
Baca juga: Vistara dan Jet Airways, Maskapai Full Service yang Sajikan Layanan Bergaya LCC
Guna mencoba bertahan, Jet Airways sempat menghadirkan inovasi dengan menawarkan layanan ala LCC pada penerbangan full service. Hal tersebut dilakukan demi menekan harga tiket, dimana pemberian makan dan minuman pada penumpang dilakukan secara terpisah (di luar harga tiket). Penawaran full service dengan rasa LCC juga dilakukan maskapai India lainnya, yaitu Vistara.
Dikutip dari Bloomberg.com (23/4), beberapa perusahaan swasta nasional India kini tengah bernegoisasi untuk mengakuisis saham dan operasional Jet Airways.
Tak sedikit wanita yang kini berprofesi sebagai penerbang, baik pada penerbangan sipil maupun militer sekalipun. Namun, diantara ribuan penerbang wanita di seluruh dunia, mungkin Aisha Al Mansouri menjadi sosok yang beruntung, pasalnya wanita Arab asal Uni Emirat Arab ini telah dipercaya menerbangkan pesawat penumpang terbesar di dunia saat ini, Airbus A380.
Baca juga: Delta Airlines Punya Pilot Sepasang Ibu dan AnakKabarPenumpang.com merangkum dari gulfnews.com (19/4/2019), Aisha Al Mansouri menjadi menjadi pilot Airbus A380 di maskapai Etihad. Mungkin sebagian dari Anda akan heran bagaimana seorang wanita bisa menerbangkan pesawat dengan bobot 560 ton tersebut.
Usut punya usut, Aisha Al Mansouri ternyata bukan pilot biasa melainkan seorang perwira pertama atau kopilot di Etihad Airways. Sebelum menerbangkan A380, semua berawal dari saudara perempuannya yang lebih dahulu menjadi pilot dan mengajak Aisha ke pertunjukkan udara di Al Ain.
“Saat mengunjungi acara itu ada beberapa orang yang bekerja di sana yang mengatakan kepada saya bahwa program kadet nasional dibuka di Etihad, jadi saya melihat ke dalam program dan memutuskan untuk bergabung, dan dalam delapan bulan saya dipekerjakan,” ujarnya.
Dia mengatakan penerbangan pertamanya di tempat kerja adalah dengan Airbus A320 dengan tujuan Ammam, Yordania. Aisha sendiri mengaku dirinya memiliki perasaan yang berbeda, padahal pengalaman pelatihan terbangnya cukup banyak salah satunya menerbangkan Cessna 172.
Aisha menerbangkan A320 selama lima tahun sebelum akhirnya menerbangkan pesawat yang lebih besar yakni A330 hingga yang terbesar A380. Dia mengatakan banyak pengalaman dalam menerbangakan burung besi berukuran besar tersebut.
“Saya saat ini menerbangkan penerbangan jarak menengah dan jauh menggunakan A380, seperti ke Sydney, New York City, Paris dan London. Ketika saya mulai dengan A380 saya kagum dengan ukurannya. Saya berlatih sebelumnya dalam sebuah simulator, tetapi begitu Anda melihat sendiri pesawat itu dari dekat, Anda menyadari ukurannya seperti menerbangkan sebuah bangunan kecil,” kata dia.
Dia menambahkan, saat menerbangkan A380 sama seperti A320 karena bereaksi sangat baik dan sangat menyenangkan untuk diterbangkan. Bahkan dia mengaku pekerjaannya sebagai pilot lebih seperti gaya hidup dibandingkan kerja. Sebab sebagai seorang pilot harus bisa mengatur dan menangani semua dari penerbangan jarak jauh hinga zona waktu berbeda yang mengikutinya.
“Hal yang saya coba berkonsentrasi sebelum saya memiliki penerbangan panjang adalah untuk memastikan bahwa saya cukup istirahat, itu hal yang paling penting bagi saya. Penerbangan malam biasanya yang sulit, misalnya jika saya harus terbang jam 3 pagi saya harus tidur pagi atau siang hari,” tambah Aisha.
Bahkan perempuan yang satu ini memiliki waktu-waktu favorit saat menerbangkan pesawat yakni saat lepas landas dan mendarat. Dimana saat melakukan lepas landas dan mendarat dirinya menggunakan manual bukan otomatis.
“Tidak masalah ke tujuan mana saya terbang, bagian yang paling menyenangkan adalah menerbangkan pesawat. Momen favorit saya adalah saat lepas landas dan mendarat. Memiliki semua teknologi canggih sangat bagus untuk hal-hal seperti navigasi dan pemecahan masalah, tetapi ketika tiba saatnya lepas landas dan mendarat, saya suka memiliki pendekatan manual langsung,” jelasnya.
Aisha sendiri mengakui dirinya sangat senang menjadi contoh positif bagi wanita dan gadis muda lainnya.
Baca juga: Ellen Church, Pramugari Pertama di Dunia yang Juga Punya Lisensi Pilot
“Wanita bisa menjadi apa pun yang mereka inginkan, itulah yang saya pikir contoh saya tunjukkan. Semua wanita harus mengikuti jalur karier yang menginspirasi dan membuat mereka bahagia. Di dalam UEA, semua bidang dapat diakses selama Anda benar-benar menginginkannya, dan jadi jika ada wanita di luar sana yang percaya bahwa ia mampu menjadi pilot dan memiliki keterampilan yang diperlukan, maka lakukanlah,” ungkap Aisha.
Uzbekistan Airways merupakan flag carrier dari Uzbekistan yang berdiri sejak 28 Januari 1992 dan mulai melakoni penerbangan komersialnya pada 31 Mei 1992. Bertumpu pada kekuatan 31 armada pesawat, maskapai ini memiliki 58 destinasi, termasuk sejumlah titik yang tersebar di kawasan Asia, Eropa, dan Amerika Utara. Belakangan ini, nama Uzbekistan Airlines menjadi buah bibir yang cukup santer dibicarakan oleh sebagaian kalangan.
Baca Juga: Mengenal SkyTeam, Aliansi Penerbangan Internasional Garuda Indonesia
Sebagaimana yang dirangkum KabarPenumpang.com dari berbagai laman sumber, ternyata maskapai ini diproyeksikan untuk kembali melakukan penerbangan menuju Indonesia. Adapun rute yang nantinya akan dijabani oleh maskapai ini menghubungkan Jakarta dengan Ibukota Uzbekistan, Tashkent. Menurut kabar yang tersiar, Uzbekistan Airways akan mulai mengoperasikan rute ini sekitar bulan Juni 2019 mendatang.
Rute penerbangan pulang pergi ini sendiri akan dilayani sebanyak dua kali dalam seminggu dengan dua skema yang berbeda. Skema pertama adalah Tashkent – Kuala Lumpur – Cengkareng/Jakarta – Tashkent, dan skema kedua adalah Tashkent – Cengkareng/Jakarta – Kuala Lumpur – Tashkent.
Apabila rencana yang tersebar luas dari Direktur Orient Mice Travel, Shukur Pardaev ini terealisasi kelak, maka ini akan menorehkan tinta emas di tubuh maskapai. Pasalnya, maskapai asal Asia Tengah ini akan menjadi yang pertama terbang menuju Indonesia. Selain itu, nama Indonesia juga akan tercatat sebagai destinasi ketiga di Asia Tenggara yang dikoneksikan oleh Uzbekistan Airways ini, setelah Malaysia dan Singapura.
Baca Juga: Trans-Siberia, Kereta Yang Mengubah Takdir Cinta
Menurut rencana yang beredar, maskapai ini akan menggunakan pesawat jenis Boeing 767 yang mampu menampung hingga 232 kursi kelas ekonomi. Untuk durasi perjalanan, penerbangan langsung Cengkareng – Tashkent akan memakan waktu 8,5 jam. Sedangkan untuk penerbangan Tashkent – Kuala Lumpur berlangsung selama 7,5 jam, dan Kuala Lumpur – Cengkareng selama kurang lebih 2 jam.
Sebenarnya, maskapai berkode HY versi IATA ini bersama dengan travel-travel wisata di negeri pecahan Uni Soviet sudah lama mengincar pasar wisatawan Tanah Air, khususnya wisatawan muslim, dengan menawarkan paket-paket wisata ziarah ke kota bersejarah seperti Bukhara dan Samarkand, selain Ibu Kota Tashkent.
Torqeedo menyediakan sistem propulsi yang terintegrasi untuk sekoci (free fall lifeboat) bertenaga listrik pertama di dunia, yang sedang kini tengah dibangun oleh perusahaan asal Belanda, Verhoef. Kapal ini dikabarkan baru saja menyelesaikan tahap akhir pengujian dan rencananya akan ditempatkan di lepas pantai proyek minyak Valhall Flank West di Norwegia. Tentu saja, pengadaan sekoci ini sudah juga termasuk ke dalam pengadaan kapal kilang – tidak hanya sekocinya saja.
Baca Juga: Langkah-Langkah Ini Akan Mudahkan Proses Evakuasi Saat Kapal Mengalami Kecelakaan!
Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman maritime-executive.com (15/4/2019), sekoci penyelamat ini sendiri memiliki kapasitas 32 penumpang dan menggunakan bahan dasar alumunium. Insinyur Verhoef dan Torqeedo telah mengembangkan dan menguji sistem propulsi bebas emisi sepenuhnya yang terintegrasi yang terdiri dari 50 kW, 80 tenaga kuda yang setara, motor listrik yang didukung oleh tiga baterai 30,5 kWh Deep Blue dengan teknologi dari BMW i.
Jika Anda pernah menonton film Captain Phillips yang dibintangi oleh Tom Hanks, ada satu scene yang menunjukkan sebuah sekoci penyelamat yang keluar dari salah satu bagian kapal. Nah, kurang lebih sekoci itulah yang tengah dikembangkan oleh Torqeedo dan Verhoef. Sudah barang tentu sistem sekoci ini dibuat sekokoh mungkin guna menahan kekuatan yang dihasilkan akibat peluncuran bebas sekoci menuju laut lepas.
Sumber: globalenergy.today
Sistem listrik juga mencakup inverter untuk menggerakkan pompa semprotan air, yang merupakan persyaratan jika kapal drive menuju minyak yang terbakar di permukaan air.
Menurut salah satu juru bicara dari Verhoef, salah satu motivasi utama di balik peralihan ke tenaga listrik adalah untuk mengurangi biaya perawatan yang tinggi dari mesin diesel yang saat ini digunakan. Perusahaan juga memperkirakan bahwa sistem propulsi listrik akan mengurangi biaya operasi sekitar 90 hingga 95 persen dibandingkan dengan sekoci bertenaga pembakaran (combustion-powered).
Baca Juga: 10 Kapal Misterius Ini Ditemukan Tanpa Awak
“Proyek yang menantang ini merupakan validasi penting dari ketahanan dan kinerja teknologi propulsi listrik terintegrasi kami di sektor kelautan,” ungkap Dr. Christoph Ballin, salah satu pendiri dan CEO dari Torqeedo GmbH.
“Sekoci ini harus siap diluncurkan dalam keadaan darurat kapan saja, siang atau malam hari, mampu bertahan dari guncangan dan getaran peluncuran dari platform tinggi dan mengantarkan penumpang ke tempat yang aman. Torqeedo telah menunjukkan bahwa kami siap untuk tugas itu,” imbuhnya.
Setelah sempat gagal di uji penerbangan perdananya pada Agustus 2016, Hybrid Air Vehicles (HAV) seolah tiada henti untuk terus mengembangkan hybrid airship Airlander 10. Dalam rentang tiga tahun ke belakang, perusahaan ini enggan berhenti untuk mewujudkan mimpi: Menerbangkan Airlander 10 secara komersial. Namun kendala demi kendala terus hadir dan pada akhirnya HAV memutuskan untuk tidak membuat model baru dari pesawat yang memiliki bentuk seperti zeppelin ini dalam waktu dekat – namun tetap berupaya untuk menerbangkannya secara komersial.
Baca Juga: Balon Udara, Teror Si Bulat Warna-Warni Untuk Dunia Aviasi
Pada awalnya, HAV telah mendapatkan persetujuan dari Civil Aviation Authority (CAA) untuk mengembangkan pesawat jenis ini dan diharapkan Airlander 10 ini dapat mengudara secara komersial pada awal tahun 2020 mendatang.
“Fokus kami sekarang adalah untuk sepenuhnya membawa batch pertama dari pesawat Airlander 10 type-certified (yang sudah tersertifikasi) dan berstandar produksi ke dalam layanan dengan pelanggan,” ungkap Stephen McGlennan, kepala eksekutif HAV, dikutip KabarPenumpang.com dari laman theguardian.com (13/1/2019).
“Prototipe akan bertugas untuk sebagai pesawat hybrid ukuran penuh pertama di dunia, memberikan data yang kami butuhkan untuk bergerak maju dari prototipe ke standar produksi. Dan pada akhirnya, kami tidak berencana untuk menerbangkan pesawat prototipe lagi,” tandasnya.
Kurang lebih, prototipe dari Airlander 10 ini telah melakukan uji penerbangan sebanyak enam kali, dimana beberapa diantaranya berakhir dengan sebuah bencana. Kendati begitu, perusahaan tetap optimis pada pendiriannya untuk tidak mengganti model dari pesawat ini dan malah mengatakan bahwa mereka telah merampungkan final testing dan mengantongi sejumlah data penting yang akan menunjang pengoperasiannya di masa yang akan datang.
Tercatat, ada dua kecelakaan yang membayangi uji penerbangan dari Airlander 10 ini, dan terhitung sejak kecelakaan terakhir yang terjadi pada tahun 2017 silam, ada banyak pihak yang menentang kehadiran dari Airlander 10 ini sebagai pesawat komersial di masa yang akan datang dengan dilatarbelakangi oleh masalah keselamatan.
Baca Juga: Meski Khusus Internal Perusahaan, Boeing Tepati Janji Perlihatkan 777-9
Namun perusahaan akan bersikukuh untuk tetap mempertahankan model yang lama dan menjamin bahwa versi prototipe akan sangat berbeda dengan versi produksi massal kelak – tentu saja sudah disempurnakan dengan data yang mereka dapatkan dari enam uji penerbangan sebelumnya.
“Banyak orang yang menanyakan di luar sana: Akankah Airlander mengudara lagi? Jawaban saya sederhana, Airlander siap didistribusikan kepada para pelanggan di seluruh dunia,” tutur Stephen McGlennan.
Siapa sih produsen yang tega apabila suatu barang yang diproduksinya dikatakan jelek atau berada di bawah standar? Tentu saja tidak ada yang mau. Nah hal semacam inilah yang baru saja dirasakan oleh manufaktur kedirgantaraan asal Amerika, Boeing yang mendapat tuduhan dari salah satu media kenamaan bahwa produksi pesawat mereka jelek. Alih-alih memperkarakan kasus ini, pihak Boeing hanya membantah dengan tegas bahwa mereka tidaklah seperti apa yang dituduhkan oleh media The New York Times.
Baca Juga: Gunakan Sayap Lipat nan Unik, Akankah Boeing 777X Jadi Pesawat Paling Efisien?
Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman nbcnews.com (22/4/2019), melalui general manager dari program Boeing 787, Brad Zaback, perusahaan ini menampik kabar yang terlanjur dipublikasikan oleh The New York Times pada Sabtu (20/4/2019) kemarin. Sudah barang tentu, beredarnya penggiringan opini publik semacam ini semakin memojokkan pihak Boeing yang hingga kini masih berkutat untuk bangkit pasca kecelakaan 737 MAX 8 Ethiopian Airlines dan Lion Air.
Dalam literasi yang diunggah The New York Times, media ini mengatakan bahwa Boeing mengabaikan keluhan pegawai bahwa pabrikan pesawat ini seolah tutup mata terhadap masalah yang ada. Bahkan, The New York times menyebut Boeing terlalu terburu-buru dalam memproduksi pesawat.
Gerah dengan pemberitaan tersebut, Brad Zaback lalu menanggapi pemberitaan tersebut dan mengatakan bahwa pihak The New York Times terlalu ofensif dan tidak berlandaskan pada fakta yang ada di lapangan.
“Kami selalu menerapkan pemeriksaan kualitas yang sangat ketat,” ujar Brad Zaback.
“Kami juga memiliki tim dengan kinerja yang sangat baik untuk melayani pihak maskapai dari seluruh dunia,” tandasnya.
Tentu saja, Brad Zaback yang mewakili Boeing merasa kecewa dengan berita tak berlandaskan data yang sudah diterbitkan oleh The New York Times tersebut.
Baca Juga: Beberapa Hal Yang Terlupakan dari Nama Besar Boeing
“Sangat disayangkan dan mengecewakan bahwa New York Times memilih untuk menerbitkan cerita yang menyesatkan ini,” ujar Brad.
Guna memastikan bahwa literasi yang sudah diterbitkan The New York Times adalah berita tak berlandaskan data, pihak Boeing mengundang media tersebut untuk datang langsung ke South Carolina – lokasi pabrik Boeing.
“Ini bertujuan agar mereka bisa melihat langsung apa yang kami lakukan di sini, namun sayang, mereka menolaknya,” tegas Brad.
Di tengah keterpurukan pihak Boeing pasca kecelakaan dua pesawat 737 MAX 8 dalam rentang waktu 5 bulan ini, ternyata dimanfaatkan dengan jeli oleh kompetitor abadinya, Airbus. Melalui Kepala Penjualan Airbus, Christian Scherer, manufaktur kedirgantaraan asal Eropa ini dikabarkan tengah menekan penjualan dari pesawat jenis A321 yang memiliki body lebih panjang ketimbang “saudara kandungnya”, A320. Ya, ini merupakan saingan yang sepadan untuk jenis 737 MAX 8 milik Boeing.
Baca Juga: Di Balik Prahara Boeing 737 MAX 8, Mampukah Airbus ‘Curi’ Ceruk Pasar?
Sebagaimana yang diketahui bersama, era pesawat berbadan kecil yang mampu merengkuh penerbangan jarak jauh dengan efisien memang tengah naik daun belakangan ini. Para maskapai dari berbagai penjuru dunia seolah tidak melirik pesawat wide-body hanya demi menyambung nafas kas perusahaan, karena mereka beranggapan bahwa penerbangan jarak jauh dengan menggunakan pesawat wide-body seperti Airbus A380 tidaklah seefisien pesawat narrow-body – terutama dari segi load factor.
Seolah luput dari sorot kamera media, secara mengejutkan Airbus sudah meluncurkan varian A321XLR, versi terbaru dari pesawat single-aisle yang mampu meruntuhkan kedigdayaan Boeing dengan varian 737 MAX kebanggaan mereka. Seperti yang sudah disinggung di atas, A321XLR milik Airbus merupakan lawan yang sepadan bagi Boeing 737 MAX.
Kendati tidak secara terang-terangan mendeklarasikan bahwa Airbus mencoba untuk mengambil keuntungan dari keterpurukan yang tengah dialami Boeing ini, namun dengan diluncurkannya A321XLR seolah sudah menjadi pertanda yang sangat jelas bahwa perusahaan yang berbasis di Eropa ini ingin mencuri ceruk pasar Boeing.
“Saya tentu tidak mendorong perilaku apa pun untuk mencoba mengeksploitasi situasi ini, karena ini di luar batas,” ujar Christian Scherer yang mengisyaratkan bahwa Airbus tidak mungkin untuk meningkatkan produksi secara masif, dikutip KabarPenumpang.com dari laman reuters.com (18/4/2019).
Baca Juga: Berikan Dukungan Pada Boeing, Donald Trump Usulkan Rebrand 737 MAX
Akal bulus pihak Airbus untuk mencuri konsumen dari Boeing semakin terlihat manakala adanya rencana peningkatan produksi dari varian ini yang digalang-galang akan dimulai pada tahun depan, dari 57 pesawat menjadi 63 pesawat. Sebenarnya, angka 63 pesawat yang diproduksi oleh pihak Airbus dalam sebulan ini lebih sedikit dari rencana awal yang mereka ramu – 70 pesawat. Hal ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan potensi dari pihak pembuat mesin yang mengaku kewalahan untuk menjabani permintaan dari Airbus.