Sisa 1 Tahun, Mengapa Kontrak Airbus dan Siemens Berkahir Begitu Saja?

Di balik invasi Airbus untuk merebut ceruk pasar dari Boeing yang kini sedang terseok-seok akibat dua kecelakaan beruntun yang melibatkan pesawat 737 MAX 8, ternyata kabar kurang mengenakkan juga datang dari produsen pesawat asal Benua Biru ini. Dikabarkan Airbus telah pecah kongsi dengan rekan kerjanya, Siemens yang terjalin sejak tahun 2016 lalu. Sebelumnya, Airbus dan Siemens tergabung dalam sebuah kerja sama dalam pengembangan pesawat listrik hybrid. Baca Juga: Dinilai Bakal Rugikan Persaingan, Uni Eropa Blokir Merger Antara Siemens dan Alstom Seperti yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman electrive.com (9/5/2019), siaran pers yang diumumkan oleh pihak Airbus menyatakan bahwa adanya perubahan dalam hubungan kerja sama tersebut dama skema yang sedikit tidak langsung. Ternyata tidakhanya dari pihak Airbus saja yang menyatakan bahwa hubungan kerjasamanya sudah berhenti – pun dengan pihak Siemens. Menurut salah satu juru bicara Siemens, ia mengatakan bahwa, “target yang disepakati ternyata telah rampung satu tahun lebih cepat dari target waktu yang sebelumnya ditentukan,” “Jadi ketika targetnya sudah tercapai padahal waktu kontraknya masih ada, kenapa kita mesti menunggu hingga waktu kontraknya jatuh tempo?” tandasnya. Sebelumnya, antara Airbus dan Siemens memang menjalin sebuah kerja sama pada tahun 2016 silam dengan durasi kontrak lima tahun. Itu berarti, seharusnya kontrak ini berakhir pada tahun 2020 mendatang. Rencananya, baik pihak Airbus maupun pihak Siemens akan menginvestasikan ratusan juta selama rentang waktu kerja sama tersebut. Diketahui, kerja sama yang kini sudah rampung tersebut melibatkan kurang lebihnya 200 tenaga kerja yang terbagi ke dalam tiga kelas thrust (100 kilowatt, lebih dari dua megawatt, hingga 10 megawatt). Mungkin secara signifikan, kerja sama antara kedua perusahaan itu eksklusif untuk model pesawat dengan kapasitas lebih dari 20 orang. Pada bulan November 2017, Siemens, Airbus dan Rolls Royce mengumumkan bahwa mereka akan mengembangkan jet regional berkapasitas 100 kursi dengan penggerak listrik hibrida untuk turbin pada tahun 2020 mendatang – setidaknya untuk versi uji coba. Baca Juga: ‘Curi’ Pasar Boeing, Airbus Genjot Produksi A321XLR Terlihat, hubungan antara Siemens dan Airbus sekarang berubah dari kerja sama yang ambisius menjadi hubungan pemasok belaka. Pernyataan tersebut merupakan hipotesa yang disimpulkan dari Kepala Program Sistem e-Aircraft di Airbus, Martin Nuesseler. “Hasil yang kami capai sejauh ini membuka jalan menuju masa depan penerbangan listrik hibrida. Kami yakin bahwa Siemens eAircraft akan terus menjadi mitra terdekat Airbus di masa depan,” ujar Martin. Pemberhentian kerja sama yang diungkapkan kedua belah pihak terjadi secara baik-baik ini belum bisa sepenuhnya diamini begitu saja. Pasalnya ada perubahan di manajemen Airbus, dimana Guillaume Faury baru-baru ini mengambil alih manajemen grup dari Tom Enders. Tentu saja, hal ini harus ditelaah lebih dalam lagi, apakah benar rencana kerja sama antara Airbus dan Siemens sudah rampung? Atau malah ada perubahan strategi yang dilakukan oleh Guillaume?  

Manjakan Penumpang, Garuda Indonesia Group Pasang WiFi Onboard di 30 Armada

Maskapai plat merah Garuda Indonesia menargetkan tahun 2019 ini akan ada 30 armada yang sudah terpasang fitur WiFi onboard. Tidak lain dan tidak bukan, hadirnya fitur ini pada armada maskapai Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia dan Citilink) ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan penumpang yang mengudara dengan menggunakan flag carrier Indonesia ini. Baca Juga: Garuda Indonesia Group Hadirkan WiFi Gratis Dalam Penerbangan Domestik Seperti yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman tempo.co (9/5/2019), Direktur Teknik dan Layanan Garuda Indonesia Iwan Joeniarto mengatakan secara bertahap seluruh armada maskapai Garuda group akan dilengkapi wifi gratis untuk penumpang. “Tahun ini 15 Citilink, 5 Airbus A330 Garuda Indonesia dan 10 pesawat 737 Garuda Indonesia terpasang WiFi,” ujar Iwan. Iwan juga menambahkan bahwa hingga saat ini, sudah ada satu pesawat Citilink yang sudah terpasang fitur WiFi onboard ini. Nantinya, penumpang akan dapat berselancar di dunia maya secara cuma-cuma ketika mereka berada di ketinggian 10.000 kaki. New experience dan kepuasan pelanggan merupakan dua goals yang ditargetkan pihak Garuda Indonesia melalui pemasangan WiFi onboard ini. Ya, Garuda ingin memanjakan setiap penumpang yang sudah mempercayakan perjalannya bersama anggota dari aliansi penerbangan SkyTeam ini. “Terutama pada penerbangan jarakjauh, satu sampai dua jam perjalanan akan boring, kita ingin meningkatkan new experience bagi pelanggan kita,” tandas Iwan. “Bahwa kita digital airlines yang kita ingin tampilkan adalah Garuda punya WiFi on board,” ujar Iwan sembari menjelaskan niatan Garuda Indonesia untuk menjadi pelopor airlines yang diminati masyarakat melalui inovasi baru. Baca Juga: 50MB Kuota WiFi Gratis di Rute Domestik Citilink dan Garuda Indonesia Adapun pemasangan fitur WiFi onboard di armada pesawat Garuda group akan dilakukan sepenuhnya oleh PT Mahata Aero Teknologi, startup yang digandeng Garuda Indonesia. Konsep kerja sama yang berbeda dengan yang dilakukan Garuda sebelumnya, menurut Iwan, tanpa investasi, tanpa biaya dan revenue sharing sangat menguntungkan Garuda dan menghemat biaya. Lebih jauh Iwan mengatakan perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia dan Mahata merupakan pertimbangan perseroan untuk melakukan bisnis ke depan. “Bisnis airlines, tidak bisa mengandalkan core bussines. Harus mencari terobosan karena margin kecil,” kata Iwan.

Mulai 14 Mei, Citilink Resmi Beroperasi dari Terminal 2F LCTT Bandara Soekarno-Hatta

Maskapai berbiaya hemat (LCC) Citilink Indonesia diwartakan akan mengoperasikan seluruh penerbangan rute internasionalnya dari Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Low Cost Carrier Terminal (LCCT) atau yang biasa dikenal terminal 2F Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng mulai hari Selasa, 14 Mei 2019. Baca juga: Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta Kini Khusus untuk Penerbangan Berbiaya Murah “Langkah perpindahan ini merupakan upaya Citilink Indonesia mendukung program pemerintah untuk mengintegrasikan penerbangan internasional maskapai berbiaya hemat (LCC) ke dalam satu terminal yang disebut dengan low-cost carrier terminal (LCCT),”ujar Plh. VP Corporate Secretary and CSR Citilink Indonesia, Ageng W Leksono, dalam catatan tertulis yang diterima KabarPenumpang.com, Jumat (10/5). Diharapkan, dengan pengoperasian penerbangan internasional Citilink Indonesia di LCCT dapat membantu program peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dengan beragam kemudahan pilihan penerbangan. Selain itu, Terminal LCCT 2F Bandara Internasional Soekarno-Hatta memiliki desain yang sesuai dengan kebutuhan penumpang maskapai berbiaya hemat (LCC), mengusung konsep digitalisasi berupa fasilitas self check in dan self bagage drop yang selaras dengan visi Citilink Indonesia sebagai digital airline. Baca juga: Mesin Self Service di Bandara Ternyata Jadi ‘Sarang’ Kuman dan Bakteri Mengenai pemindahan terminal, dipastikan tidak ada perubahan Jadwal penerbangan Internasional Citilink. Terhitung hingga saat ini, Citilink Indonesia memiliki dua rute penerbangan internasional dari dan menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yaitu Jakarta – Penang, Malaysia dan Jakarta – Kuala Lumpur, Malaysia.

JR East Siap Uji Coba Kereta Tercepat di Dunia Jumat Malam Ini!

Bukan Jepang namanya kalau tidak terus melakukan improvisasi terhadap jaringan kereta apinya. Ketika negara ini sudah punya jaringan kereta api paling canggih di dunia, namun dirasa masih kurang, maka salah satu operator kereta di Negara Matahari Terbit tersebut, East Japan Railway Co. (JR East) dikabarkan baru saja meluncurkan kereta uji penuh Alfa-X Shinkansen. Konon katanya, ini merupakan kereta Shinkansen paling cepat diantara yang lainnya – mampu merengkuh kecepatan hingga 400 km per jam! Baca Juga: Terus Kembangkan Shinkansen, JR East Uji Coba ALFA-X Sebagaimana yang dirangkum KabarPenumpang.com dari berbagai laman sumber, Alfa-X Shinkansen sendiri rencana akan mulai dioperasikan pada tahun 2030 mendatang, dan JR East rencananya hanya akan mengoperasikan kereta ini pada kecepatan 360 km per jam saja. Itu berarti, kecepatan Alfa-X Shinkansen menandingi produksian asal Cina, Fuxing Hao yang berlari dengan kecepatan 350 km per jam – padahal, top speed dari kedua ular besi ini sama-sama menyentuh angka 400 km per jam. Guna mengatasi hambatan angin yang tercipta ketika kereta memasuki terowongan, gerbong paling depan dari Alfa-X ini didesain sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk hidungyang lebih ramping ketimbang varian lainnya, dengan panjang hidung mencapai 22 meter. Adapun kereta yang menarik 10 rangkaian ini akan diuji coba pada Jumat (10/5/2019) dan mengular dari kota Aomori dan Sendai. Agar tidak mengganggu operasional kereta lainnya, uji coba ini sendiri akan digelar pada malam hari selama tiga tahun. Alfa-X ini sendiri didominasi oleh warna perak yang dihiasi oleh garis berwarna hijau. Kereta Shinkansen tercepat saat ini merupakan bagian penting dari rencana otoritas terkait untuk menawarkan layanan yang lebih cepat menuju Sapporo, kota terbesar di pulau paling utara Hokkaido. Baca Juga: JR East Uji Coba Shinkansen Eksperimental ALFA-X Sebelum Mengular Mei 2019 “Pengembangan shinkansen generasi berikutnya didasarkan pada konsep-konsep kinerja yang unggul, tingkat kenyamanan penumpang yang tinggi, lingkungan operasi yang unggul dan pemeliharaan yang inovatif,” ujar pihak JR East dalam sebuah pernyataan tertulis. Meskipun Alfa-X menyandang predikat sebagai kereta tercepat di dunia saat ini, tapi gelar tersebut mungkin akan dicopot pada saat ia mulai beroperasi kelak. Selain karena kereta ini akan beropeasi di bawah kecepatan maksimalnya, namun teknologi kereta maglev juga mungkin akan menyaingi Shinkansen.  

3 Desember 2019, Boeing 747-400 Qantas Lakukan Penerbangan Trans Pasifik Terakhir

Ibarat mengikuti jejak Garuda Indonesia yang terlebih dahulu memensiunkan Boeing 747-400, Qantas Airways diwartakan juga segera mengakhiri debut jumbot jet tersebut pada akhir Desember 2019. Rute penerbangan terakhir pun telah dicanangkan, yaitu Sydney ke San Francisco. Rute penerbangan yang telah berlangsung 50 tahun itu kabarnya akan digantikan dengan pesawat widebody terbaru, Boeing 787-900 Dreamliner. Baca juga: Sukses di Rute Non-Stop Perth-London, Qantas Bersiap Terbang Non-Stop dari Sydney ke London! Mengutip sumber simpleflying.com (8/5/2019), detail penerbangan terakhir telah diketahui, yakni Boeing 747-400 dengan nomer penerbangan QF73. Pesawat tersebut dijadwalkan terbang pada 3 Desember 2019 tanpa membawa penumpang. Ya, tidak ada penumpang dalam penerbangan ini, lantaran QF73 selanjutnya akan benar-benar pensiun di negara kelahirannya. Persisnya Qantas akan ‘menidurkan’ Boeing 747-400 di Gurun California. Sebelumnya pada tahun 2018, Qantas juga melakukan ritual yang sama, yaitu memensiunkan Boeing 747-400 dengan melalukan penerbangan terakhir dari Sydney ke Los Angeles. Qantas selama ini diketahui mengoperasikan dua pesawat 747-400 dan enam 747-400ER, masing-masing pesawat dapat membawa 364 penumpang. Sebagai pengganti di rute trans pasifik adalah Boeing 787-9 Dreamliner yang dianggap dapat lebih mendukung strategi ekspansi internasional Qantas, ditambah Dreamliner punya tingkat efisiensi bahan bakar lebih tinggi dibanding Boeing 747-400. Meski dianggap lebih efisien dan tingkat kenyamanan pada penumpang lebih baik, namun langkah yang diambil dengan memesiunkan 747-400 juga akan membawa konsekuensi. Pasalnya kapasitas Dreamliner 100 kursi lebih sedikit dibanding 747-400. Boleh jadi akan lebih sedikit permintaan yang dapat dipenuhi oleh Qantas, yang bukan tak mungkin akan menyebabkan naiknya tarif. Hal tersebut dapat diatasi, semisal Qantas dapat meningkatkan frekuensi penerbangan. Untuk saat ini jalur penerbangan trans pasifik juga dilayani beberapa maskapai altenatif, sebut saja Fiji Airways dengan pesawat baru Airbus A350. Untuk melayani rute trans pasifik, Boeing 787 Dreamliner akan menghadirkan kelas bisnis baru dan ekonomi premium. Kelas bisnis Qantas baru merupakan peningkatan besar dari apa yang saat ini tersedia di 747. Dengan 42 kursi flat masing-masing memiliki seat pitch 46/80 inci (mode tempat duduk / tempat tidur) dan layar hiburan 24 inchi. Setiap kursi juga memiliki akses lorong langsung. Baca juga: Semakin Terpuruk, Airbus Terima Pembatalan Pesanan A380 dari Qantas Airways Sementara kelas ekonomi premium terdiri dari 28 kursi, fasilitas di kelas ini adalah seat pitch dengan ukuran 38 inchi. Kelas ini dijanjikan makanan dan fasilitas hiburan yang lebih baik dibanding kelas ekonomi reguler.

Sebut Produk Buatannya Jelek, Karyawan Internal Bahkan Enggan Naik Pesawat Boeing

Awan hitam sepertinya masih enggan berpindah dari pabrik Boeing yang ada di Amerika sana. Ya, eksportir terbesar bagi Negeri Paman Sam dilihat dari dollar value-nya ini memang tengah dirundung masalah yang saling terkait dengan insiden jatuhnya dua pesawat Boeing 737 MAX 8 yang masing-masing dioperatori oleh Lion Air dan Ethiopian Airlines. Kendati kejadiannya sudah terjadi berbulan-bulan yang lalu, namun masalah ini ternyata merembet ke banyak aspek – tidak hanya masalah teknis, melainkan gaji karyawan. Baca Juga: Akhirnya! Boeing Akui Adanya Kesalahan Sistem pada Boeing 737 MAX 8 Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman bloomberg.com (9/5/2019), pihak Boeing dan sejumlah eksekutif di Chicago ‘didemo’ oleh sejumlah orang yang mengaku sebagai keluarga korban kecelakaan maut tersebut. Keluarga korban ini menuntut Boeing dan para jajaran eksekutif di dalamnya – namun bisnis, tetaplah bisnis. Tidak bisa dipungkiri, pihak Boeing memang sempat berkelit ketika dituduh sebagai dalang di balik dua kecelakaan maut yang menewaskan lebih dari 300 orang tersebut, namun lama kelamaan, pihaknya mengakui bahwa merekalah yang menjadi dalang utamanya. Salah satu pernyataan yang paling mengejutkan publik dewasa ini adalah tentang pengakuan para insinyur di Boeing yang mengatakan bahwa mereka sudah mengetahui ada yang tidak beres pada varian 737 MAX 8. Maksudnya di sini adalah sebuah sensor pada sistem navigasi yang dijual terpisah dari satu keseluruhan pesawat – dan akibat absennya sensor inilah dua pesawat nahas tersebut jatuh dan menimbulkan polemik berkepanjangan di sektor aviasi global. Tidak berhenti sampai di situ, pengakuan lain yang jauh lebih mengejutkan lagi adalah ketika pada tahun 2014 silam, media asal Timur Tengah, Al Jazeera menyelundupkan kamera tersembunyi ke dalam pabrikan Boeing dan menemukan sejumlah pegawai. Tentu saja itu bukan hal yang aneh, bukan? Namun percakapan antara pegawai mengisyaratkan bahwa mereka tidak akan pernah mau mengudara dengan menggunakan pesawat-pesawat Boeing karena pengerjaannya yang dinilai buruk. Baca Juga: Pasca Insiden Boeing 737 MAX 8, Akankah Pilot ‘Kembali’ Menyandarkan Kepercayaan Pada Pesawat Tersebut? Selain itu, bayaran yang diterima oleh pegawai Boeing pun bisa dibilang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Jadi, wajar saja jika ada banyak karyawan yang mengundurkan diri dan pada akhirnya Boeing melakukan perekrutan karyawan baru dengan usia yang lebih muda – karena terkesan para karyawan muda ini lebih mudah diatur.

Terbang Perdana 15 Mei, Lion Air Gantikan Batik Air Layani Penerbangan ke Bandara YIA

Sebelumnya dijadwalkan Batik Air akan memulai penerbangan perdana ke Bandara Internasional Yogyakarta atau Yogyakarta International Airport (YIA) pada hari Jumat ini, 10 Mei 2019. Namun ada kabar bahwa penerbangan Batik Air diganti dengan Lion Air. Penggantian ini juga merubah tanggal penerbangan perdana, yaitu direncanakan pada Kamis, 15 Mei 2019. Baca juga: Lebaran 2019, Seluruh Extra Flight ke Bandara Adisutjipto Dialihkan ke Bandara YIA Update tersebut disampaikan Humas PT Angkasa Pura II kepada KabarPenumpang.com (10/5). Lebih jauh belum didapatkan informasi rute asal dan frekuensi penerbangan yang akan dilayani Lion Air ke Bandara YIA. Semmentara Batik Air sebelumnya menyebut akan menawarkan empat rute ke Bandara YIA, yaitu dari Denpasar, Palangkaraya, Samarinda, dan Jakarta. Sejauh ini penerbangan komersial ke Bandara YIA baru dilakukan oleh maskapai Citilink, yang memulai penerbangan perdana pada 6 Mei lalu. Setiap harinya Citilink baru melayani satu kali frekuensi dari Bandara Halim Perdanaksuma ke Bandara YIA. Dari pemberitaan sebelumnya, Lion Air diwartakan masih kesulitan mendapatkan slot penerbangan ke Bandara YIA. Lion Air Group sendiri telah mengajukan izin slot penerbangan untuk Batik Air, Lion Air dan Wings Air. Dikutip dari tribunnews.com (28/4/2019), perwakilan Lion Air disebutkan berminat membuka rute baru Denpasar-Yogyakarta yang mendarat di YIA. Mereka sudah memperoleh izin rute ke YIA, namun masih memerlukan prosedur cukup panjang di otoritas bandara Kemenhub untuk memperoleh slot penerbangan di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai yang sangat padat. Baca juga: Disambut Water Salute, Citilink QG-132 Lakukan Penerbangan Komersial Perdana ke YIA Maskapai juga mempertimbangkan waktu tepat dalam menentukan jam beroperasi, mengingat padatnya jadwal di bandara asal (Ngurah Rai-red). Berbeda dengan YIA. Slot penerbangan untuk YIA terbuka lebar. Maskapai bisa memperoleh slot penerbangan di YIA dalam waktu relatif cepat. “Mereka (Lion Air) meminta paling tidak tanggal 10 Mei sudah siap,” kata General Manager Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Agus Pandu Purnama

Sukses di Rute Non-Stop Perth-London, Qantas Bersiap Terbang Non-Stop dari Sydney ke London!

Setelah sukses melayani penerbangan jarak jauh Perth – London, selanjutnya Qantas berencana untuk menorehkan rekor layanan jarak jauh lainnya, yang pasti dari segi jarak akan lebih jauh. Qantas melalui Project Sunrise akan menghubungkan Sydney dengan London secara non-stop yang direncanakan akan bergulir pada akhir tahun 2019 ini. Nah, terhitung masih ada beberapa bulan lagi sebelum peluncuran proyek ini, warganet pun dibuat penasaran dengan jenis pesawat yang akan digunakan oleh pihak Qantas nantinya untuk menghubungkan kedua benua ini. Baca juga: Setahun Buka Penerbangan Langsung Perth – London, Qantas Sukses Puaskan Pelancong Spekulasi di antara warganet pun mulai bermunculan dan menjalar dengan liarnya, ada yang menyebutkan Qantas akan menggunakan Airbus A350, ada juga yang menyebutkan maskapai yang berjuluk the Flying Kangaroo ini akan menggunakan pesawat Boeing 777X, hingga yang paling memungkinkan adalah Boeing 787 Dreamliner. Namun daripada spekulasi ini terus berputar begitu saja, ada baiknya Anda analisis satu per satu kemungkinannya. Kendati nama Airbus A350 nampaknya tidak terlalu diunggulkan dalam persaingan ini, namun rekam jejak menyebutkan bahwa Qantas telah melakukan penerbangan langsung jarak jauh dengan Airbus untuk kurun waktu yang cukup lama. Kembali pada tahun 2014, dimana Qantas mengoperasikan penerbangan penumpang terjauh di dunia dengan pesawat penumpang terbesar di dunia antara Sydney dan Dallas/Fort Worth. Sekira 18 bulan Qantas berhasil mempertahankan predikat ini sebelum akhirnya disalip oleh Emirates yang mengoperasikan rute Dubai – Auckland. Bukan tidak mungkin apabila Qantas menjatuhkan pilihan terhadap A350-900ULR yang sudah terbukti bandel ketika beroperasi untuk Singapore Airlines yang melakoni rute penerbangan Singapura – Newark. Kandidat lain yang muncul dari pabrikan pesawat asal Eropa ini adalah varian A350-100 (atau yang biasa disebut A350XWB) yang bisa dbilang merupakan perpanjangan dari A350-900ULR, dimana varian pesawat ini akan memberikan ruang tambahan bagi Qantas – sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penumpang Qantas. Ya, apabila proyek ini benar-benar terlaksana oleh Qantas, maka hal yang diminta oleh penumpang adalah ruang peregangan, tempat olahraga, dan tentu saja sebuah bar. Baca Juga: Tekan Limbah, Qantas Tahun Ini Stop Penggunaan Boarding Pass Berbahan Kertas Namun sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman simpleflying.com (1/5/2019), pilihan terbaik Qantas mungkin jatuh kepada armada paling anyar dari Boeing, yaitu varian 777X. Jika ditinjau secara teoritis, varian ini merupakan kandidat yang paling ideal yang dibutuhkan Qantas untuk menjabani Project Sunrise – luas, jarak tempuh yang sangat jauh, dan juga efisien bahan bakar. Namun kelemahan dari Boeing 777X ini adalah mereka belum siap. Seperti yang sudah diketahui bersama, Cathay Pacific menjadi pelanggan pertama yang akan mendatangkan varian pesawat ini pada pertengahan tahun 2021 mendatang. Lalu, varian apa yang akan digunakan the Flying Kangaroo untuk menjalankan Qantas Project Sunrise? Varian dari Boeing kah, atau mungkin Airbus? Atau mungkin ini adalah ajang bagi Qantas untuk menjajal merk lain?

Tunggak Bayaran Tiga Bulan, Listrik Bandara di Sulteng “Dipadamkan” PLN!

Sebagai salah satu infrastruktur transportasi yang memegang peranan vital, pasokan listrik di suatu bandara haruslah terpantau dengan seksama. Jangan sampai ada tunggakan yang pada akhirnya menyebabkan pasokan listrik di bandara tersebut diputus oleh pihak PLN. Nah, kalau sudah seperti ini kan malah jadi polemik tersendiri. Ya, hal inilah yang terjadi pada Bandar Udara Syukuran Aminuddin Amir, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah beberapa waktu yang lalu, dimana pasokan listrik di bandara ini sempat diputus karena adanya tunggakan. Baca Juga: Dukung Operasional Bus Listrik Bandara Soekarno-Hatta, PLN Akan Bangun 4 SPLU Sebagaimana yang dirangkum KabarPenumpang.com dari berbagai laman sumber, tunggakan listrik di bandara ini sudah mencapai tiga bulan. Adapun pemadaman listrik ini terjadi sejak Senin (6/5/2019) kemarin dengan total tunggakan mencapai angka Rp377 juta. “Kami (bandara) tidak membayar tagihan listrik Rp377 juta sejak pemakain bulan Februari, Maret dan April 2019,” ujar Pelaksana tugas (PLT) Kepala Bandara Syukuran Aminuddin Amir Luwuk, Alex Rudi. Kendati sempat terputus, namun dikabarkan listrik di bandara ini sudah kembali tersambung pada Rabu (8/5/2019). Direktur Jenderal Perhubungan Udara Polana B Pramesti menyatakan permasalahan pemutusan jaringan listrik telah diselesaikan, pihak Ditjen Hubud melakukan koordinasi dengan PT PLN (Persero). “Kami melakukan langkah cepat untuk mengatasi hal tersebut dan membayar tagihan,” ungkap Polana dalam sebuah keterangan resmi. Menurut Polana, pemutusan jaringan listrik yang dilakukan pihak PLN tidak berdampak terhadap operasional penerbangan karena pihak Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) memiliki genset dengan kapasitas 500 KVA dan 250 KVA. Sederhananya, pelayanan di bandara tetap berjalan normal kendati pasokan listriknya diputus oleh PLN karena kehadiran dari genset tersebut. “Untuk operasional kebutuhan pelayanan bandara, setiap bandara memiliki genset sebagai cadangan apabila aliran listrik PLN putus sehingga operasional di bandara tetap berlangsung normal,” terang Polana. Baca Juga: Terminal 3 Ultimate Bandara Soetta Mati Listrik (Lagi) Kejadian seperti ini mengingatkan kita terhadap padamnya aliran listrik di Terminal 3 Ultimate Bandara Internasional Soekarno Hatta pada Senin, 17 September 2018 lalu. Kendati dilatarbelakangi oleh masalah yang berbeda (bukan karena tunggakan pembayaran iuran listrik), namun tetap saja pemadaman semacam ini dikhawatirkan akan menghambat operasional bandara. Semoga kejadian semacam ini tidak terulang lagi, ya!  

Mudahkan Bayar Zakat, GoJek Rilis Go-Give Pertengahan Mei Mendatang

Sehubungan dengan berjalannya Bulan Ramadan, salah satu unicorn asal Indonesia, GoJek meluncurkan fitur Go-Give. Ya, sesuai dengan namanya, fitur ini memungkinkan para pengguna aplikasi GoJek untuk berbagi donasi, zakat, infaq, dan sedekah secara online. Anda dapat mulai mengakses fitur ini melalui aplikasi GoJek pada ponsel Anda terhitung sejak pertengahan Mei 2019 mendatang. Sebelumnya, GoJek pernah menghadirkan fitur serupa hanya saja dalam bentuk shuffle card sejak November 2018 kemarin. Baca Juga: Pasca Pemberlakuan Tarif Baru, Pengemudi Ojek Online Keluhkan Sepinya Order Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman cnbcindonesia.com (8/5/2019), ketika masih berbentuk shuffle card saja, Go-Give telah memfasilitasi 343 kampanye kebaikan dan mengumpulkan dana sejumlah Rp2,3 miliar dari 75.000 donatur dalam rentang waktu enam bulan saja. Luar biasa, bukan? Menanggapi rencana peluncuran Go-Give dalam versi baru ini, Chief Corporate Affairs GoJek, Nila Marita mengatakan bahwa inovasi ini sejalan dengan misi Gojek untuk menggunakan teknologi dalam memudahkan kehidupan dan memberikan dampak sosial kepada masyarakat luas. “Kami percaya posisi kami sebagai aplikasi on-demand dengan jumlah pengguna terbanyak di Indonesia akan memperluas jangkauan Go-Give sehingga dapat menginspirasi semakin banyak lagi masyarakat Indonesia untuk berbagi kebaikan dan memberikan dampak sosial,” ungkap Nila, Rabu (8/5/2019). Senada dengan Nila, Head of Third Party Platform GoJek, Sony Radhityo pun menambahkan bahwa tren donasi online yang ada di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat pada rentang waktu 2017 hingga 2018. Terlebih lagi, di Bulan Ramadan seperti ini juga kerap kali dimanfaatkan oleh banyak orang di luar sana untuk berbagi kebaikan, jadi sepertinya GoJek sudah merilis fitu yang tepat di waktu yang pas. Baca Juga: Tarif Baru Ojol Berlaku 1 Mei di Lima Kota, GoJek dan Grab Ikut Aturan Pemerintah “Di Indonesia tren donasi online meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2017-2018. Ramadhan tahun lalu, jumlah donasi digital yang terhimpun dengan memanfaatkan aplikasi Gojek juga secara signifikan meningkat 12 kali dibandingkan Ramadan tahun sebelumnya,” ungkap Sony. Ia juga menambahkan bahwa Go-Give melengkapi 22 layanan dan lima fitur yang kini ada dalam ekosistem GoJek. “Yang unik, Go-Give punya kalkulator zakat Jadi, bisa dihitung langsung, apakah mau bayar zakat sendiri atau untuk anak semisal sudah berkeluarga,” tuturnya.